Bulan Madu ke Kebun Binatang Bersama Aden dan Lia

Ang Rifkiyal
Bulan Madu ke Kebun Binatang Bersama Aden dan Lia


Aku punya istri, namanya Azalia. Ia biasa dipanggil Lia. Dia cantik dan baik. Aku suka. Kita baru saja menikah dua hari yang lalu.

Sedangkan Aden, dia adalah anaknya Lia hasil pernikahan dengan suaminya terdahulu. Tapi sekarang sudah jadi anakku juga. Usianya baru tiga tahun. Dan katanya, kelak, kalau sudah gede, Aden ingin jadi ultraman. Tapi Lia melarang.

Hari ini adalah hari ketiga aku menjadi suaminya Lia. Dan aku belum terbiasa dengan berbagai suasananya. Bahkan kadang-kadang aku sering canggung saat sedang bersama Lia. Mungkin karena belum terbiasa.

Dan Lia, ia pun nampak sama sepertiku, nampak canggung dan terlihat malu-malu. Pedahal Lia sudah pernah berkeluarga, harusnya ia lebih bisa mengatur suasana. Karena tentunya ia sudah berpengalaman.

Yang membuatku aneh justru Aden. Anak usia tiga tahun ini nampak tenang. Beda dengan aku dan ibunya. Ia terlihat santai tanpa ada rasa canggung sedikit pun. Bahkan, saking tidak canggungnya, ia seperti sengaja pipis dipangkuanku untuk menunjukan eksistensinya.

Dan saat ini, aku sedang memanaskan motor. Rencananya, hari ini, Aku, Lia dan Aden akan berangkat jalan-jalan ke kebun binatang yang ada di Bandung.

"Lia! Tolong ambilkan!" kataku setengah berteriak.

"Ambilkan apa, Aa?" kata Lia.

"Hatimu," kataku biar agak so sweet.

"Gak mau!" kata Lia

"Kenapa?" tanyaku.

"Aa belum mandi," jawab Lia.

"Kan udah kemarin."

"Ihhh! Mandi dulu aa! Enggalan!"

"Gak mau. Aa pengen dimanja dulu sama kamu, Lia," kataku.

Tak lama Lia datang dan menghampiriku. Senyumnya lebar. Matanya merona.

"Aa.. Enggal atuh! Gera ibak!" kata Lia lembut membujukku dengan halus.

Aku diam saja pura-pura tidak mendengar. Sesekali tanganku mengelap bodi motor dengan kanebo yang warnanya agak kuning.

"Aa, Enggal matiin dulu motornya! Mandi dulu sonoh!" kata Lia lagi.

Aku tetap saja diam. Semacam pura-pura.

Kemudian kurasakan Lia segera memelukku dari belakang. Ia mengecup leherku. Dan hembus napasnya bisa kurasakan. Geli.

"Aa sayang. Jika hati ini yang kau inginkan, maka resapilah! Dan dengarkan setiap detak jantungku menyebut cinta. Buatmu, aku rela. Buatmu, lautan asmara," kata Lia.

Lantas kubalikan badanku. Kemudian kukecup kening Lia dengan lembut. Kening yang aromanya harum seperti aroma bedak.

"Lia.." ujarku dengan penuh kelembutan.

"Apa a?" Tanya Lia dengan suara lembut.

"Sampean Aa katincak!"

"Uppss!" kata Lia sambil kemudian segera menyingkirkan kakinya.

 Lia tertawa dan minta maaf saat itu juga.

Kumatikan motorku kemudian bergegas untuk mandi. Siap-siap berangkat menuju kebun binatang yang ada di Bandung. 

Aku anggap perjalanan ke kebun binatang hari ini sebagai bulan madu. Karena sebagai pengantin baru, rasanya penting untuk melaksanakan bulan madu. Selain bentuk refreshing, tentunya juga untuk membangun fondasi awal kemesraan berumah tangga.

Tapi kenapa bulan madu ke kebun binatang? Aneh! Ah! Itu hanya ucapan tetangga yang kemarin mengkritisi kebijakan rumah tangga kami. Karena bagiku, kebahagiaan bulan madu itu datangnya dari hati. Bukan dari tempat yang kami kunjungi. Apalagi, kebun binatang mempunyai nilai historis yang begitu dalam.

Dulu, Lia pernah digigit monyet yang ukurannya sebesar Badak Jawa. Bahkan ia pernah diterkam naga yang memiliki kepala seperti ikan gurame. Tapi, itu hanya dalam cerita fiksi saja sih. Cerita karangan Aku dan Lia.
***

Sekarang, kami sedang berada diatas motor. Siap-siap tancap gas menuju kebun binatang.

"Aden, jangan pipis ya!" kata Lia sambil mengelus-elus kepala Aden yang duduk di tengah.

"Aden duduknya di knalpot aja, Lia!" ujarku.

"Huss!" sahut Lia sambil mencubit pinggangku.

"Hehe.. Becanda kok!"

Motor pun melaju. Melintasi jalanan yang nampak lenggang. Mungkin karena saat ini kami masih berada didaerah Gunung Halu. Jadi jalanannya sepi. Entah kalau sudah melintasi daerah Cimareme. Mungkin akan terasa rame.

"Aden!" kataku. "Lihat ada gambar badut!" kataku lagi sambil menunjuk kearah baliho yang ada gambar orangnya.

"Haha!" Lia tertawa sambil mencubit pinggangku.

Hanya saja kurasa Aden tidak mengerti. Pedahal, kalau Aden sudah agak dewasa, ia pasti mengerti. Ia pasti menikmati suasananya. Karena disepanjang perjalanan banyak gambar-gambar lucu yang ditempel di pohon, di tiang listrik, bahkan di sepanjang jalan yang kita lalui.

Sayangnya Aden masih kecil. Jadi ia tidak akan begitu paham bahwa negara ini adalah negara seribu baliho dan sejuta spanduk.
***

Dua jam berlalu. Akhirnya kita sampai dikebun binatang. Hal pertama yang aku lakukan saat turun dari motor adalah memotret Lia dan Aden.

"Senyum!" kataku sambil mengarahkan kamera DSLR ke Aden dan Lia.

"Deui, A!" kata Lia yang bergaya menghadap kamera sambil mencium Aden.

"Aden! Ayah cemburu," kataku sambil kemudian memotret Lia dan Aden.

Lia tertawa kecil. Aden tersenyum. Subhanalloh, tiadalah kenikmatan yang begitu manis selain kenikmatan ini. Kenikmatan ketika aku melihat keluarga kecilku bahagia.

Namun, ada sisi-sisi dimana aku merenung. Dalam keluarga kecil ini, aku adalah imam, aku adalah pemimpin bagi mereka. Ada kebahagiaan yang harus aku bawa buat mereka. Kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Dan ini tidaklah mudah.

Kutahu, Lia adalah anak pengusaha kaya. Ayahnya adalah seorang pengusaha wajit terbesar di Asia Tenggara. Bahkan Lia sendiri adalah seorang pebisnis. Ia berkecimpung didunia mode & fashion. Butik-butiknya sudah memiliki beberapa cabang yang ada di wilayah Bandung dan Jakarta. Sedangkan aku? Aku hanyalah seorang santri lulusan pesantren. Aku tak pernah memiliki historis yang manis tentang dunia perbisnisan.

Hidupku sehari-hari adalah mengembala kambing dan sapi. Atau kalau lagi musim nyawah, aku biasa disawah untuk sekedar nyangkul, mopok, tanur, nyaplak, ngagasrok, dan lain sebagainya. Tapi uangku banyak. Karena kambingku sekarang berjumlah 6420 ekor, sapiku berjumlah 1602 ekor. Sawahku ada sekitar 279 hektare.

Bahkan, kini aku sudah memiliki lembaga pendidikan setingkat SMP. Yang didalamnya mungkin berisi ratusan santri dan siswa. Tapi ini hanya lamunan.