Gugur Alisa, Tumbuhlah Salis

Ang Rifkiyal
Gugur Alisa, Tumbuhlah Salis


Dia Alisa, gadis cantik yang rumahnya memiliki genteng. Alisa adalah anak Haji Burhan, seorang pengusaha wajit Cililin terbesar se-Asia Tenggara. Sebenarnya, Alisa merupakan tetanggaku. Rumahnya tidak jauh dari rumahku. Mungkin sekitar dua puluh kali putaran ban motor jaraknya.


Aku malu bercerita tentang Alisa. Tapi mau bagimana lagi, aku harus tetap menceritakan pada semua penduduk bumi tentang Alisa. Pikiranku sudah tidak muat untuk terus memendam ingatan-ingatan yang aku sendiri sulit untuk melupakan.


Ini bermula satu tahun yang lalu. Saat Alisa dan keluarganya pindahan dari Istanbul, Turki. Ibunya bernama Kurchova. Ia adalah perempuan jangkung warga Turki yang aku sendiri tidak habis pikir, kok mau-maunya Bu Kurchova menikah dengan Haji Burhan. Seorang yang pendek penduduk asli sini, sebagaimana pendeknya aku dan orang-orang lainnya yang ada di sekitaran rumahku.


Alisa adalah orang yang pada mulanya biasa berbicara wacemew-macemew. Aku tidak pernah mengerti. Tapi setelah satu tahun, akhirnya ia bisa berbicara bahasa sunda sebagaimana bapaknya.

***


"Hai Alisa," seruku ketika Ia datang.


Alisa masih nampak cantik. Wajahnya tetap bersinar. Berkerudung putih dengan memakai baju batik khas seorang siswi SMA ternama di daerah Cililin. Nama sekolahnya tidak akan saya bilang. Cukup dimaklumi saja.


"Hai Odet," seru Alisa balik. Ia senyum padaku dengan senyuman yang kau tahu sendiri, manis.


Meski Alisa memanggilku dengan sebutan Odet, tapi namaku adalah Steven. Hanya saja itu nama impian yang agak riskan untuk tercapai. Karena nama asliku berdasarkan data kependudukan masih tetap sama, Jaeni.


Dan teman-temanku biasa memanggilku dengan sebutan Odet karena aku memiliki codet yang ada di pipi kiri. Sebuah codet berbentuk silang mirip hurup eks.


Aku berdiri dari bangku tempat duduk. Kakiku kemudian melangkah untuk menghampiri Alisa.


"Alisa, sini!" Kata Rendi yang tiba-tiba datang.


Rendi langsung memegang tangan Alisa dan ia menuntunnya sperti hendak dibawa pergi. "Aku mau nunjukin sesuatu padamu," lanjutnya.


Aku langsung olohok. Semacam apa ya? Aku pun kurang tahu bahasa Indonesianya. Pokoknya saat itu aku olohok.


Alisa dan Rendi saat ini banyak dibicarakan oleh beberapa oarang di sekolah. Menurut rumor, Alisa dan Rendi sudah berpacaran.


Hanya saja aku tidak percaya. Alisa adalah perempuan baik-baik, ia memiliki peringai yang lembut, cerdas dan agamis. Mana mungkin ia berpacaran dengan Rendi yang nakal. Dimana di sekolah rendi terkenal sebagai tukang palak, rajin bolos, dan peringainya buruk.


Lebih baik aku menyusul Alisa. Daripada terlambat. Cinta memang butuh perjuangan. Cinta memang harus di perjuangkan. Karena manusia pada dasarnya berdiri diatas labuhan cinta. Bersemi dalam kobaran asmara.


"Intadzirii! Alisa," kataku dengan bahasa arab yang tidak terlalu fasih.


Alisa memang orang Turki, tapi ia bisa berbahasa arab. Nenek moyangnya adalah Nabi Adam.


"Aiwa.." kata alisa.


"Haa, ana uriidu an uhawira syai-an muhimman ma'ak," kataku. Artinya aku ingin ngobrol sesuatu yang penting padamu.


"'An ayyi syai-in?" tanya Alisa yang ingin tahu apa yang ingin aku bicarakan.


"Sa uhkbiruki, lakin mafi hadzal makan," jawabku.


"Ittabi'iyy biy," kataku yang kemudian memegang tangan Alisa.


"Heh!" Tiba-tiba Rendi menghardik.


"Apa?" Kataku pada Rendi.


"Alisa mau jalan sama gua! Bangsal!"


"Ajeg! Apa lu? Emang Alisa siapanya lu?" Kataku nyolot.


"Alisa pacar gue. Bangsal!" kata Rendi dengan suara tinggi.


"Iya gitu?" tanyaku yang kemudian langsung menatap Alisa.


"Iya!" Jawab Alisa dengan tegas sambil menepiskan tangannya dari genggamanku.


Keduanya menatapku. Kemudian mereka pun langsung pergi. Berlalu sambil pegangan tangan. Meninggalkanku begitu saja.


Kilat-kilat menyambar memenuhi langit rasaku. Kegetiran menyelimuti tubuhku. Kakiku kukira terasa lunglai tidak kuasa menumpu seluruh badanku. Aku roboh di lantai.


Jika saja hujan turun. Aku lebih mengharapkan itu. Agar aku bisa mengeluarkan air mata bersama derasnya hujan. Betapa malangnya nasibku. Ternyata benar apa yang dikatakan Fat Kai, "Dari dulu begitulah cinta, deritanya tiada akhir."


"Hai, Odet, lagi apa?" tanya seseorang yang terdengar menyapaku dari belakang. Suaranya terdengar lembut, merobohkan paceklik yang sedang kurasakan saat ini.


Kulihat, dan, seperti ada angin yang menerpa lembut dan terasa Sejuk. Apa yang kulihat saat ini begitu indah.


"Hei, kenapa bengong?" Tanyanya.


"Salis?" Kataku.


"Hehe, iya. Gimana kabarmu?" Tanyanya.


Salis adalah perempuan yang lahir di Gunung Halu. Setiap perempuan yang lahir dari Gunung Halu terkenal baik dan cantik-cantik.


Satu tahun yang lalu, Salis mendapat beasiswa untuk studi di Jepang. Semenjak itu, aku sudah tidak melihatnya lagi. Namun kini ia hadir di depan mataku. Dengan seragam yang sama denganku.


Yang aku ingat dari Salis adalah, dia merupakan gadis pencinta Shalawat. Berbeda dari gadis pada umumya yang suka K-Pop. Salis adalah gadis yang pinter, cantik dan baik. Habib Syech adalah idolanya. Pun Ust Jefri Al-Buchori, Hadad Alwi Mayada, Sulis, Wafiq Azizah, dan lain-lain.


Setahuku, ia juga adalah perempuan yang aktif bersosialisasi. Beda dengan perempuan lainnya yang cuma bisa bedakan dan jalan-jalan pakai payung takut kepanasan. Salis itu aktif berorganisasi. Ia tergabung di Front Pembela Islam. (Yang kemudian di tahun 2019 bubar)


Aku pernah nanya padanya, "kenapa ikutan FPI?" dia jawab, "karena Habib Riziq pinter bershalawat, hanya itu alasanku," katanya.


Aku nanya, "Emang shalawat yang mana?"


Rohatil Athyaaru Tasyduu

"Burung-burung mengudara bernyanyi"


Fi layaalil maulidi

"Di malam kelahiran Baginda Nabi"


Wa bariiqu nnuuri yabdu

"Dan kilatan cahaya nampak jelas"


Fi ma'aani ahmadi

"Memaknai pujian, Ahmad"