Tidak Ada Orang yang Benar-Benar Siap Menikah!

Ang Rifkiyal
Tidak Ada Orang yang Benar-Benar Siap Menikah!

Pada zamannya, saya adalah orang yang tidak kesulitan memiliki pacar. Bahkan perbuatan nakal itu termasuk urusan mudah. Hingga saya pernah memiliki tiga pacar sekaligus dalam satu waktu. Bajingan memang.

Namun jika dihadapkan pada pernikahan, saya selalu merasa kesulitan. Permasalahannya bukan ada dan tidak adanya calon, tapi pada kesiapan dan kemantapan hati.

Ada beberapa orang yang pernah serius mengajak saya menikah. Dan saya selalu kebingungan menghadapinya, saya selalu merasa tidak siap.

Pada akhirnya saya sering menghindar dari orang-orang yang mengajak saya menikah. Saya memilih memutuskan hubungan karena saya tidak mau mereka menunggu sampai saya siap, sementara saya tidak memiliki kepastian apa pun. Meskipun terkesan tega, tapi menurut saya berpisah adalah pilihan terbaik dan masuk akal. Saya tidak ingin menutup jodoh mereka dengan menunggu sesuatu yang tidak pasti dari seorang pecundang seperti saya.

Meski dalam hati saya sadar itu adalah perilaku yang tidak gentle.

Menginjak usia 24 tahun, saya memilih untuk tidak pacaran lagi. Sebab pacaran di usia yang sudah seperti itu sangat rawan untuk diajak menikah. Sedangkan saya tidak pernah siap untuk menghadapi hal tersebut. Beda dengan pacaran di usia remaja yang tidak terbebani tuntutan menikah kecuali hanya sekedar teman ngobrol dan curhat.

Saya kemudian lebih fokus pada kesibukan belajar, kerja dan organisasi. Meskipun pada akhirnya selalu kepikiran tentang nikah karena ternyata mau tidak mau saya tetap dihadapkan pada tawaran untuk menikah.

Sebagai seorang yang mungkin dianggap telah dewasa, beberapa orang sepertinya gereget untuk menikahkan saya. Beberapa teman sepertinya tidak nyaman melihat saya lajang semetara saya dianggap sudah cukup untuk menikah.

Saya mendapatkan beberapa tawaran menikah. Ada yang mengenalkan saya dengan adiknya, sudaranya, bahkan ada orang tuanya yang sengaja datang ke saya dan berbicara tentang hal ini.

Dan lagi-lagi saya bingung. Bagaimana saya harus menyikapinya? Pada akhirnya saya selalu memberi jawaban yang menggantung. Saya kesulitan untuk memberikan jawaban.

Bukan karena saya tidak suka. Justru saya merasa bahagia dengan ketulusan-ketulusan dari orang-orang yang datang pada saya. Hanya saja saya ragu dengan diri saya. Saya merasa saya belum siap menikah. Saya masih tidak yakin bisa menjadi seorang suami dan memiliki seorang istri.

Saya sangat tidak percaya diri.

Saya tidak tahu kapan saya akan siap menikah. Kapan waktu itu akan datang. Malah saya berpikir bahwa saya tidak akan pernah siap untuk menikah.

Hingga kemudian, saya diajak bicara oleh kedua orang tua. Mereka menawarkan calon istri untuk saya. Dan saya tidak pernah mempermasalahkan calon yang ditawarkan oleh kedua orang tua. Hanya saja, saya tetap merasa belum siap.

Kedua orang tua akhirnya menasehati bahwa pada dasarnya jarang ada orang yang siap untuk menikah. Setiap orang pasti memiliki keraguannya sendiri. Hanya saja, kesiapan itu akan muncul bila prosesnya ditempuh. Tidak ada orang yang siap menikah bila tidak menempuh prosesnya.

Akhirnya saya berpikir, dan banyak dinasehati pula oleh teman-teman saya. Semua orang memberi dukungan. Mereka meyakinkan saya untuk percaya diri.

Dan akhirnya saya mengikuti saran mereka untuk menempuh prosesnya walau pun saya tidak yakin dengan diri saya. Saya membuka komunikasi dengan calon istri yang ditawarkan oleh kedua orang tua. Termasuk berkomunikasi dengan keluarganya.

Dan ternyata itu sangat sulit. Tidak mudah bagi orang yang punya masalah komunikasi seperti saya. Apalagi dengan kondisi saya yang sangat tidak percaya diri. Rasanya ingin mundur saja. Penjajakan yang saya jalani rasanya tidak berjalan mulus. Terlebih calon istri saya posisinya sedang mondok di pesantren yang jauh. Tidak membawa alat komunikasi dan pulangnya mungkin setahun 2 kali. Sulit akhirnya untuk melakukan penjajakan.

Ngerasa ngegantung aja gitu.

Kemudian hari-hari saya jalani seperti biasa dengan kondisi yang menggantung, belum ada keputusan apa pun antara saya dan calon istri yang ditawarkan oleh kedua orang tua tersebut. Dan selama setahun lebih hal itu terjadi. Dalam masa setahun itu, masih saja ada tawaran calon istri yang datang kepada saya dari teman-teman saya.

Saya hanya bisa menjawab sebisanya, kali ini saya utarakan sebagaimana adanya, dimana saya sudah dikenalkan oleh kedua orang tua dengan seseorang, tapi posisinya belum jelas. Jadi saya belum bisa menindak lanjuti tawaran-tawaran lain yang datang kepada saya.

Hingga kemudian, ada momentum dimana calon istri saya pulang dari pesantren. Dia ngontek bahwa dia sedang pulang.

Galau banget. Rasanya males untuk menemuinya. Apalagi saya sedang tidak on fire. Tapi dipikir-pikir, tidak ada waktu lagi, tidak ada orang yang siap menikah kalau tidak menjalani prosesnya. Hingga akhirya saya kuat-kuatkan diri aja, maksain.

Di pertemuan itu, saya langsung utarakan untuk mengajak dia menikah. Dan saya minta jawaban serta kepastian darinya. Lagi pula jika tidak segera diungkapkan saat itu, mau sampai kapan lagi. Dia nya jarang pulang kalau sudah berangkat ke pesantren lagi, masa mau menggantung terus.

Dan saat itu saya grogi banget.

Jawabannya tidak muncul saat itu juga, dia minta waktu. Entah bagaimana. Akhirnya esoknya, atau entah malamnya dia menyetujui untuk menikah.

Syukur alhamdulillah. Kebayang kalau nolak, mungkin saya akan semakin tidak yakin akan menikah.

Dan setelah itu, proses-proses persiapan menuju pernikahan pun berlanjut. Semua prosesnya dijalani tahapan demi tahapan. Ada hal mudah dan ada pula hal sulit, semua tetap dijalani. Dan akhirnya saya menikah pada 21 Maret 2019 dengan istri saya.

Sekarang adalah tahun kedua pernikahan saya. Dan semua terasa mudah. Tidak sesulit yang saya bayangkan. Malah terasa lebih tentram aja hati kalau sudah punya istri. Tidak heran kalau banyak orang yang sudah menikah menyetakan menyesal kenapa enggak nikah dari dulu.

Dari perjalanan hidup ini saya menjadi faham bahwa segala sesuatu harus ditempuh prosesnya, termasuk dalam hal pernikahan. Karena jika tidak ditempuh, kita tidak akan pernah siap. Kita tidak pernah bisa mencapai hasilnya.

Benar kata salah seorang sepuh yang menasehati saya, "eweuh jalma nu sagala mampu jeung bisa, hirup mah salilana diajar".