Cerita: Monster Jembatan Ciminyak Cililin

Admin
Namaku Jaelani. Bulu hidungku gondrong, tapi sering aku cukur biar tidak kelihatan gondrongnya. Dan aku suka makan nasi. Entah kenapa jika aku tidak makan nasi sehari saja, aku sering lapar.

Saat ini aku sedang mengendarai motor menuju rumah makan yang lokasinya ada di Ciminyak, daerah Cililin Kabupaten Bandung Barat.

Aku sudah ada janji dengan Nabila untuk bertemu di sana.

Nabila adalah pacarku. Kita baru seminggu jadian. Tapi aku belum pernah bertemu Nabila sebelumnya. Kita selama ini hanya berkomunikasi di dunia maya. Dan kali ini aku dan Nabila akan benar-benar bertemu di dunia nyata untuk pertama kalinya.

“Woy!” kataku, “Buruan bangsat!” ucapku kasar pada seorang pengendara motor yang ada di depanku.

Orang itu menoleh padaku. Ia menatapku. Dan aku balas menatapnya sambil menunjukkan gelagat ingin berkelahi. Untungnya dia hanya sekedar menatapku dan berlalu tanpa menghiraukanku lebih jauh.

Jalanan memang sedang macet, ada perbaikan jalan. Dalam situasi buru-buru seperti itu aku memang tidak bisa menahan kesabaran. Beberapa orang yang kuanggap menyebalkan langsung aku maki.

Akhirnya, karena aku merasa sudah habis kesabaran, aku pinggirkan motorku dan kutitipkan di sebuah warung yang ada di pinggir jalan. Aku memilih untuk berjalan kaki. Aku tidak ingin terlambat untuk bertemu Nabila. Lagi pula lokasi Ciminyak sudah cukup dekat.

Aku berjalan, meski agak lari-lari. Aku berusaha untuk segera sampai dengan tetap menjaga kondisi agar tubuh tetap wangi. Aku tidak ingin Nabila nanti melihatku dengan tampilan kusam.

Namun baru saja melangkahkan kaki beberapa saat, aku malah dikagetkan dengan suara dentuman keras dari arah langit. Terdengar menggelegar tidak terkendali. Sejurus kemudian kulihat warna langit tiba-tiba berubah, menjadi agak pucat dan gelap. Terasa mengerikan, membuatku merasa takut.

Ku perhatikan, di hamparan langit itu ada sebuah lubang besar yang tiba-tiba muncul menjorok ke dalam. Dan dari setiap sisinya ada petir-petir halus yang saling menyambar.

Aku bingung. Beberapa orang yang ada di sekitarku pun terlihat bingung. Bahkan kemudian semua menjadi terlihat panik dengan fenomena yang aneh ini.

Dalam situasi tersebut, aku kembali teringat Nabila. Aku tetap harus segera menemuinya. Aku berusaha untuk menghiraukan dan kembali melanjutkan perjalanan.

Tak lama kemudian setelah aku memutuskan untuk berlari, aku sampai di jembatan Ciminyak.

Di sana, suasana sudah agak kacau. Orang-orang nampak panik dengan fenomena langit yang menjadi hitam dan mengerikan

Aku kebingungan mencari Nabila.

“Halo! Bil? Dimana?” kataku lewat sambungan telepon.

“Aku di sini. Di dekat angkot kuning yang ada di ujung jembatan,” katanya.

“Tunggu! Jangan kemana-mana!" kataku, "Aku segera kesana," lanjutku.

Lantas aku berjalan. Mataku memantau ke tempat yang sudah aku tentukan. Aku fokus pada orang-orang yang ada di dekat jembatan. Kemudian aku melihat angkot kuning sebagaimana yang dikatakan Nabila.

Dan, jleb! Mataku beradu pandang dengan sosok gadis cantik. Matanya bersinar. Senyumnya landai.

Ya, itu adalah Nabila. Sosok perempuan yang biasanya hanya bisa aku lihat di facebook dan instagramnya saja.

“Nabila ya?” kataku menyapa.

Jantungku berdebar sedikit tidak karuan. Aku grogi.

“Iya,” jawabnya. “Ini Aa Jaelani ya?” tanyanya.

“Iya,” jawabku.

Lantas kita saling mengeluarkan senyum setelah saling mengkonfirmasi.

Aku dan Nabila nampak asing. Canggung. Pedahal saat berkomunikasi di media sosial rasanya kita sudah sangat dekat sekali, bahkan kedekatan kita saat beradu pesan di media sosial sudah tidak bisa diukur dengan penggaris.

“Bila!” seruku.

“Apa?” katanya lembut.

“Maaf ya! Tadi Aa telat datangnya,” kataku.

“Iya, kenapa kok bisa telat datangnya?” tanyanya

“Mungkin Aa hamil,” jawabku.

“Ih?” Bila bingung. Mungkin ia tidak mengerti candaanku tentang alasan telat.

Lantas kita melanjutkan obrolan ke beberapa tema lain. Ya, obrolan ringan, membahas beberapa obrolan yang sebenarnya sering kita ulas di pesan whatsapp. 

Maklum, ini adalah pertemuan pertama di dunia nyata. Aku merasa perlu untuk melakukan penjajakan ulang.

Di tengah perbincanganku dengan Nabila tersebut, tiba-tiba dari arah langit terdengar suara gemuruh dahsyat. Aku kemudian mendengar suara raungan keras bak erangan binatang buas.

Aku dan Nabila kaget. Kita tersadar dengan situasi yang ada. Sepertinya memang kita berada dalam situasi bahaya.

Nabila tiba-tiba memeluk lenganku. Ia nampak ketakutan. Aku berusaha menenangkannya. Terbesit di benakku bahwa ternyata enak juga dipeluk seperti itu.

Dari lubang hitam yang ada di langit, tiba-tiba keluar sesosok monster.

"Edas, aslina ieu teh?" Aku kaget. Kejadian ini seperti adegan yang biasa aku lihat di film-film Ultraman.

Kemudian monster itu meluncur begitu cepat dari langit, langsung menghujam ke aliran sungai Ciminyak. Sejajar dengan posisiku dan Nabila yang sedang berdiri di pinggir Jembatan Ciminyak.

Sosok monster itu begitu menyeramkan. Matanya merah, kepalanya bedegul, dan kulitnya bersisik seperti sisik ikan bandeng.

Dan yang paling aneh, hidungnya ada bolongnya dua.

Cerita: Monster Jembatan Ciminyak Cililin

Semua orang panik. Mereka menjerit dan lari berhamburan.

Banyak kendaraan yang terjebak macet lantas ditinggal oleh pemiliknya. Banyak anak terlantar, banyak istri yang diselingkuhi suami. Mereka berhamburan dan berlarian.

Suasana menjadi sangat kacau, hingga akhirnya di tengah kepanikan tersebut Nabila tersenggol oleh seseorang dan jatuh ke sungai yang ada di bawah jembatan.

Aku panik melihat Nabila yang tersenggol jatuh. Aku reflek langsung ikut terjun ke sungai untuk menyelamatkan Nabila.

Air sungai ciminyak ternyata sangat deras. Untungnya aku bisa berenang dan mampu mengendalikan tubuh sehingga dapat langsung menangkap Nabila.

Nabila yang sudah terengah-engah kutarik, kubawa ia ke darat. Ia pingsan walaupun masih tetap terlihat cantik.

Aku putuskan untuk menekan-nekan bagian dadanya dan memberinya nafas buatan agar ia segera sadar dan kembali menjadi wanita.

Tak berapa lama, Nabila langsung sadar walau sambil batuk-batuk dengan mata yang agak layu.

“Kamu baik-baik saja?” tanyaku.

Ia menganggukan kepala. Tanda bahwa ia dalam keadaan baik.

“Bila, maaf. Barusan aku memberimu nafas buatan. Kondisinya darurat,” terangku.

Muka Nabila memerah mendengar ucapanku. Mungkin ia sudah kembali menjadi perempuan.

***

Raungan suara monster terdengar menggema, tingkahnya yang brutal mencerminkan sosok monster yang liar. Sesekali monster itu merusak rumah-rumah yang ada di sekitaran sungai. Ia berjalan menyusuri sungai menuju ke arah di mana kami berada.

Aku dan Nabila tidak bisa beranjak pergi. Kaki Nabila terkilir. Dan kita sudah terlalu lemah untuk menyelamatkan diri akibat terjatuh dan tenggelam. Sementara semua orang sudah pada berhamburan. Mereka pergi menyelamatkan diri masing-masing.

Nabila menangis. Ia ketakutan. Terlihat air matanya yang bening. Indah sekali, dia memancarkan aura perempuan yang cantik jelita. Aku merasa terpesona dengan kecantikan dan kelembutannya.

Tapi aku kemudian sadar, saat ini bukan waktunya untuk kasmaran dan menikmati pesona nabila. Ia sedang menangis. Aku tidak boleh membiarkan ia menangis, apalagi sampai celaka.

Bagaimana pun aku harus melindungi Nabila. 

Tapi..

Tapi bagaimana cara aku melindunginya? Aku bingung. Apalagi monster itu sangat ganas dan menyeramkan. Ukurannya pun sangat besar seukuran Gunung Aseupan.

Hatiku meneduh, tiba-tiba saja aku ingat Allah. Aku percaya bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Perkasa yang akan melindungi hamba-Nya yang beriman. Seketika aku memohon keselamatan kepada Allah. Memohon perlindungan serta jalan keluar atas  masalah yang aku hadapi ini.

Tidak berselang lama, tiba-tiba ada sebuah tas jatuh dari atas jembatan akibat getaran yang timbul dari langkah kaki monster

Tas itu jatuh tepat di hadapanku. Terlihat dari dalamnya ada wajit berserakan. Aku melihat makanan khas daerah Cililin itu berceceran dan menggelinding ke arahku.

Entah kenapa, aku langsung tergerak untuk mengambilnya. Apalagi setelah melihat bungkus kemasannya yang bertuliskan "wajit asli Cililin legit".

Kuambil satu, kubuka bungkus wajit yang terbuat dari daun jagung kering tersebut. Benar saja, itu adalah wajit khas yang jarang ada di daerah lain. Wajit legenda yang menjadi oleh-oleh khas Cililin.

Kurasakan tekstur luarnya yang sedikit kering namun di dalamnya terasa lembek dan lembut. Kemudian aku langsung menyantapnya dan menikmati rasa manisnya.

Srrreeeggghhh! Sejurus kemudian aku merasakan hal aneh. Entah kenapa sesaat setelah memakan wajit itu mataku silau, kepalaku terasa dingin, tubuhku terasa melayang. Aku seperti terhempas.

Ada apa ini? Apa yang terjadi padaku?

Aku hanya bisa melihat warna putih. Dan telingaku hanya bisa mendengar suara melengking bising. Lantas tubuhku seperti sedang melayang dan meluncur ke suatu alam yang berbeda.

Aku seperti dikeluarkan dari muka bumi.

Jleb! Eh??

Secara perlahan mataku mulai bisa melihat. Namun anehnya tiba-tiba saja aku berada di padang pasir yang gurun. Seperti berada di dataran Gurun Gobi Afrika. Dimana sepanjang mata memandang yang kulihat hanyalah pasir.

Tidak ada sesuatu apapun kecuali sengatan matahari dan hembusan angin yang membawa debu-debu pasir gersang.

Nabila? Dimana Nabila?

Mengapa aku ada disini? Di tempat yang asing ini?

"Jang, lagi apa?" kata seseorang yang tiba-tiba terdengar suaranya dari arah belakang.

Aku kaget. Aneh. Kok ada orang yg memanggilku di tempat seperti ini?

Segera kubalikan badan untuk melihatnya. Ternyata ada seorang kakek-kakek tua memakai dudukui sambil membawa tolombong dan arit.

"Siapa kamu?" kataku dengan nada keras.

"Hahaha. Aku adalah orang yang tersesat di sini," katanya.

"Koplok siah!" kataku. "Moal salah deui sia nu mawa aing kadieu!" lanjutku.

"Hahaha. Kamu sedang emosi anak muda. Tenanglah!" katanya.

Sejenak aku menatapnya. Aku memandang wajahnya dengan lebih tenang. Kuperhatikan secara seksama ia tidak seperti orang jahat.

"Ini di mana?" tanyaku yang mulai menurunkan emosi.

"Ini di alam ereup-ereup. Sebuah alam yang penuh misteri."

"Maksudnya?"

"Ya, ini misteri, Jang. Aku pun terkadang tidak mengerti. Sudah lama aku ingin keluar dari sini. Namun tidak pernah bisa."

"Maksud kamu, kita akan terjebak di sini selamanya?" tanyaku bingung.

"Mungkin."

Mendengar ucapannya, aku langsung lemas. Hidup memang asik. Namun hidup dalam dunia yang sepi seperti ini apa bedanya dengan mati?

Tapi ada apa ini? Aku masih bingung dengan semua yang terjadi.

"Ayo ikut denganku!" kata kakek itu.

"Kemana?" kataku.

"Ke tempat berlindung. Sebentar lagi akan ada badai."

"Hah?"

Lantas aku mengikuti kakek itu. Berjalan menyusuri padang pasir yang gurun. Gurun pasir yang luas seperti tiada berujung.

Lima jam lamanya berjalan, aku dan kakek tua itu sampai di sebuah bongkahan batu besar. Dimana di tengahnya terdapat sebuah lubang membentuk gua.

Kakek tua itu menjelaskan padaku, bahwa lubang pada batu besar ia buat sendiri dalam kurun waktu satu tahun. Ia membuatnya khusus untuk berlindung bila akan terjadi badai.

Aku bertanya, "Gimana cara kamu melubanginya? Ini kan keras?".

Ia jawab, "Hahaha, saat pertama kesini, aku fokus mematangkan ilmu tenaga dalam yang telah aku gali selama menjadi pendekar Gunung Halu."

Kemudian ia menunjukan caranya padaku. Dan, Jebrett! Batunya langsung bolong.

"Edas!" kataku kagum. "Iya gitu? Kamu Pendekar Gunung Halu?" tanyaku penuh heran.

"Hahaha, itu dulu," jawabnya.

Aku langsung menyungkur. Memberikan rasa hormat padanya. Betapa tidak, jika benar ia adalah pendekar Gunung Halu, itu akan sangat luar biasa. Pendekar Gunung Halu adalah pahlawan legenda dari Gunung Halu. Ia adalah pembela kebenaran dan penumpas kejahatan yang banyak diceritakan. Ia terkenal dengan pencak silat dan kesaktiannya yang luar biasa.

“Hahaha, kenapa kau berlutut seperti itu anak muda?”

“Pangersa Mama Pendekar Gunung Halu, hapunten pisan tadi saya bersikap kurang ajar,”

“Hohoho. Aing tea,” katanya.

Kemudian kita ngobrol-ngobrol. Atau curhat tentang berbagai hal di dalam batu yang bolong itu. Tentunya sambil berlindung dari badai pasir yang ricuh. Aku mendapat informasi darinya, bahwa satu tahun di alam ereup-ereup sama dengan satu detik di dunia nyata. Itu artinya aku masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan Nabila dari monster jahat di alam bumi.

Aku menceritakan kejadian yang kualami di dunia nyata pada sang mama Pendekar Gunung Halu. Ia manggut-manggut mendengar ceritaku. Aku lantas memohon-mohon agar bisa kembali ke dunia nyata. Namun ia bilang hal itu tidak bisa. Kecuali aku mampu mengalahkan siluman huntu rangoas yang masih menguasai alam ereup-ereup. Selain itu aku harus mampu merebut wajit cililin yang saat ini berada dalam penguasaan siluman huntu rangoas agar mampu kembali ke dunia nyata.

“Apakah mama pernah mencoba?” tanyaku.

“Iya, namun aku selalu gagal. Siluman itu terlalu kuat.”

Aku langsung lemas mendengar ucapannya. Serasa langit, awan dan hujan runtuh mendadak lantas menimpa ubun-ubunku. Aku putus asa. Mungkin memang sudah takdirku untuk tinggal di alam ereup-ereup selamanya. Menyedihkan.

“Tapi...” kata Mama pendekar gunung halu dengan nada ragu.

“Tapi apa?” tanyaku penasaran.

“Ada satu cara agar bisa mengalahkan siluman huntu rangoas.”

“Apa?” tanyaku penuh nafsu sembari memegang kedua tangannya.

“Ada satu jurus yang aku punya. Jurus ‘tukang ngarit mabuk’. Jurus ini kurasa mampu mengalahkannya. Sayangnya aku sudah terlalu tua untuk mengeluarkan jurus itu. Jika aku keluarkan, aku bisa mati dan malah sia-sia,” ujarnya dengan ekspresi kecewa.

Ahhhh.. aku kecewa lagi. Harapan  yang kukira baru muncul sedikit sudah langsung ditebas lagi. Mungkin memang ini takdirnya, aku harus menangis. Pedahal aku belum sempat menikah selama masih di dunia.

“Hahahaha,” kakek tua itu tertawa tiba-tiba. Membuatku kaget sekaligus heran.

“Kurasa ilmuku lebih baik aku wariskan padamu anak muda!” katanya lagi dengan nada optimis.

Setelah itu, aku diberi sebuah tolombong dan arit olehnya. Aku diajari berbagai jurus dan ilmu. Hari demi hari aku lalui untuk berlatih agar bisa menguasai berbagai jurus. Hingga satu tahun kemudian akhirnya aku berhasil mengusai jurus ‘tukang ngarit mabuk’.

Setelahnya, aku pun mampu menguasai semua jurus yang diajarkan oleh Mama Pendekar Gunung Halu, kemudian aku langsung diantar untuk menemui siluman huntu rangoas. Menempuh perjalanan yang jauh. Mungkin sekitar tiga bulan kami menyusuri padang pasir yang luas untuk akhirnya sampai di tempat palinggihan siluman huntu rangoas yang berada di suatu lembah penuh dengan pohon kaktus.

“Mau apa kalian kemari? Bhuaahahahahaha,” kata siluman huntu rangoas menyambut kedatangan kami.

Aku kaget dengan semua yang kualami ini. Aku begitu ngarumas. Saat ini, di hadapanku ada sesosok raksasa besar dengan muka menyeramkan. Lebih dari itu, ia memiliki gigi yang gondrong. Usut punya usut, giginya itu beracun. Ia sering menjadikan giginya sebagai senjata andalan.

“Aku ingin melawanmu, hai siluman huntu rangoas!” ujarku pura-pura berani.

“Bhuahahahahahha.. Coba saja kalau berani!”

Lantas aku menghampirinya dan menebas gigi gondrongnya menggunakan arit. Tebasanku membuat siluman huntu rangoas itu mati seketika.

"Adih! Kok gitu? Apa-apaan ini? Masa langsung kalah? Tidak sesulit yang diceritakan. Tidak seru. Tidak seheroik dari penuturan awal," kataku mengerutu pada Kakek Pendekar Gunung Halu.

Kakek pendekar Gunung Halu hanya cengengesan.

Aku lantas mengambil wajit dari genggaman siluman huntu rangoas menggunakan tolombong. Kemudian aku serahkan kepada mama Pendekar Gunung Halu. Kita langsung botram di tempat. Menikmati wajit Cililin yang terkenal manis dan legit.

Dan, jleb! Aku langsung berada di bawah jembatan Ciminyak kembali. Kulihat Nabila langsung memeluk tanganku. Ia sedang ketakutan.

Nampak monster dengan wajah buas menuju ke arah dimana aku dan Nabila berada. Suaranya meraung-raung keras.

Monster itu bahkan mulai berlari ke arah kami. Ia sepertinya sudah tidak sabar untuk menyantap kami.

Namun ketika baru berlari beberapa langkah, monster itu tiseureuleu di tengah aliran sungai jembatan Ciminyak. Tisoledat.

Hahahaha, aku dan Nabila tertawa melihat kejadian itu. Sungguh gokil sekali, tidak bisa dibayangkan, monster dengan wajah beregud dan mengerikan tiba-tiba tikosewad dan tikusruk di sungai.

Aku dan Nabila yang tadinya horor jadi tertawa terbahak-bahak.

“Tunggu disini Nabila! Aku akan menghadapinya,” kataku pada Nabila dengan tatapan meyakinkan.

“Aa..” kata Nabila dengan suara lembut. Ia menatapku penuh rasa khawatir.

“Jangan khawatir! Kamu harus percaya, semua akan baik-baik saja. Ini demi kamu. Pun jika aa meninggal, setidaknya aa meninggal dengan keadaan terhormat. Aa telah memperjuangkan keselamatanmu duhai cinta, oh..” kataku pada Nabila biar terkesan hebat dan bertanggung jawab.

“Aa! Hiks.. Hiks..” Kata nabila sambil memelukku. Ia menangis di pangkuanku seakan tidak kuasa melepas kepergianku. Eum.

Aku kemudian naik ke atas jembatan. Dengan penuh percaya diri, aku berdiri menghadap ke arah monster itu.

Terbersit dalam hati, bahwa aku mungkin akan mati menghadapi monster yang ukurannya sebesar gunung aseupan. Bagaimana pun, aku adalah manusia biasa. Manusia yang hanya memiliki tinggi 165 cm. Manusia yang tadi pagi hanya sarapan nasi dua piring.

Sungguh, aku tidak punya daya, aku bukan siapa-siapa. Jangankan melumpuhkan monster, melumpuhkan hati perempuan saja aku sering gagal. Kecuali Nabila. Melumpuhkan Nabila adalah kebetulan. Atau mungkin ijabah doa karena aku sering menyebut namanya di sepertiga malam.

Semua orang mesti tahu, bahwa Nabila adalah gadis yang cantik. Mungkin paling cantik sekelurahan. Atau paling cantik satu RT pun tidak masalah. Yang penting paling cantik.

Nabila punya gigi taring gingsul. Jika senyum, ada manis-manisnya. 

Lelaki mana yang mampu bertahan dengan senyuman perempuan yang memiliki gigi gingsul?

Kutengok Nabila, ia nampak khawatir melihatku yang akan bertarung dengan monster itu. Aku tidak boleh mengecewakan Nabila. Aku harus melawan monster itu.

"Arggghhhhhhhh...."

Aku berteriak. Bukan untuk menakut-nakuti sang monster. Tapi untuk mengeluarkan sebuah jurus yang sempat aku pelajari ketika terjebak di alam ereup-ereup. Nama jurus tersebut adalah jurus padalarang. Jurus yang hampir semua orang pada melarang. Jurus ini adalah jurus yang dikembangkan dari jurus tukang ngarit mabuk.

Aku merasakan kekuatan yang muncul dalam diriku. Tubuhku seperti dipenuhi oleh sengatan listrik.

Aku lantas melayang, meluncur, dan menyerang monster itu dengan sekuat tenaga.

Tanpa basa-basi aku pukul-pukul tubuhnya dengan sekeras mungkin. Aku tampar wajahnya dengan tangan-tangan jebrag.

Beberapa hizib aku bacakan untuk melumpuhkan monster itu.

Dari mulutku, muncul api. Aku bisa menyemburkan api dengan kecepatan tinggi dan semburan yang besar. Seperti api yang dihembuskan oleh tukang las karbit.

Serangan yang aku lancarkan begitu brutal. Hingga muncul sebuah ledakan mirip bom atom Hiroshima yang pernah aku lihat di film dokumenter sejarah kemerdekaan.

"Selesai," kataku ketika berhasil membuat ledakan maha dahsyat tersebut.

Aku memandang Nabila dengan rasa percaya diri tinggi. Aku berhasil menunjukkan pada Nabila bahwa aku adalah orang yang kuat.

Aku kemudian mencoba menghampiri Nabila.

"Itu," kata Nabila.

"Apa?" tanyaku.

"Di belakang.." kata Nabila lagi.

"Eit dah", aku kaget.

Monster itu masih ada di belakangku dan belum mati. Ia melongo padaku. Ia menatapku aneh. Monster itu tdak terluka sama sekali, bahkan seolah tidak terjadi apa-apa.

Aku muringis. Sungguh, aku gemetar melihatnya. Aku takut. Monster itu sangat mengerikan.

Aku berteriak, "Arrggghhhhhhhhhhhhh..."

Aku terbangun. Mataku kubuka perlahan, tubuhku terasa panas, aku keringatan.

Kulihat jam dinding di kamarku menunjukan pukul 1 siang.

Dan, ya, aku saat ini sedang di kamar.

Sungguh, baru saja aku bermimpi yang aneh. Mimpi bertemu dengan Nabila di jembatan Ciminyak, tersesat di gurun, hingga harus bertarung melawan monster yang hidungnya ronghod. Benar-benar mimpi yang aneh.

Segera kuambil hape yang ada di meja. Kubuka facebook dan Instagram Nabila lagi. Dan kulihat profilnya lagi. Ia masih sama, masih cantik. Sampai-sampai terbawa mimpi.

Andai saja aku bisa berkenalan dan jadian dengan Nabila.
**

Siang itu, selepas terbangun dari tidur, aku jadi banyak merenung. Mengapa aku bermimpi aneh seperti itu. Tentang wajit dan kekuatan. Tentang Nabila dan monster. Pun tentang Pendekar Gunung Halu.

Akhirnya, selepas shalat dzuhur, aku langsung memutuskan untuk bergegas berangkat ke Sindangkerta. Menuju daerah Gandok.

Memang, sudah tiga minggu ini aku rutin datang ke Gandok. Setiap hari aku dan teman-temanku nongkrong di jalanan, antara Rancapanggung dan Sindangkerta. Jika ditanya untuk apa? Jawabannya sederhana. Hanya untuk mengatur lalu lintas jalan.

Kebetulan, di sepanjang jalan Rancapanggung dan Sindangkerta sedang dilakukan pengecoran. Aku memanfaatkan situasi itu. Untuk ikut nimbrung melakukan buka tutup jala sambil ngencleng untuk mendapatkan receh.

"Beng, kenapa telat?" tanya Jajang kepadaku ketika aku baru saja tiba.

Namaku adalah Jaelani. Tapi anehnya, teman-temanku malah memanggilku dengan sebutan Obeng. Asal muasalnya tidak akan aku ceritakan.

"Ketiduran.." jawabku singkat.

Aku langsung bergabung dengan mereka.

Beberapa waktu kemudian, saat aku sedang ngencleng memungut sumbangan dari para pengendara motor yang sedang mengantri, tiba-tiba aku terkejut melihat seorang perempuan yang sedang dibonceng pengendara motor.

Sosok perempuan bergigi gingsul, rambutnya terurai, dan matanya berjumlah dua.

Tidak salah. Itu adalah Nabila. Ya, benar ia. Perempuan yang selama ini hanya bisa kulihat sosoknya di media sosial. Perempuan yang tadi siang hadir dalam mimpiku.

"Nabila, ya?" tanyaku refleks sembari menghampirinya segera. Aku tidak sadar, kenapa aku tiba-tiba menghampiri dan menanyakan namanya.

Nabila terperangah ketika aku menghampirinya. Dahinya mengkerut, menebak-nebak, siapa aku.

"Eh? Kamu siapa ya?" tanya orang yang sedang membonceng Nabila.

Saat itu Nabila memang sedang dibonceng oleh seorang lelaki dengan menggunakan helm berwarna putih. Lelaki yang yang menggunakan motor sport Kawasaki Ninja empat silinder.

Aku tersenyum, aku merasa malu sendiri. Bisa-bisanya aku menghampiri Nabila dan menyapanya.

Aku langsung minta maaf. Dan berlalu menjauh untuk melanjutkan mengambil receh dari para pengendara yang lain.

Tapi Nabila masih melihatku. Ia mungkin bertanya, siapa aku yang bisa tahu namanya.

Jika Nabila teliti, ia pasti akan tahu siapa aku.

Di Instagram, aku sering sekali mengomentari status dan foto-foto Nabila. Bahkan aku sering mengiriminya pesan di Instagram, pesan yang hanya dibaca saja itu, tanpa pernah direspon, atau pun dihiraukan.

Jika Nabila teliti dengan akun Instagram ku, ia pasti akan ingat sosok yang sering mengirim pesan itu adalah aku. Ya, aku. Orang yang di Instagram sering berfoto dengan celana sobek-sobek. Tidak berbeda seperti celana yang saat ini sedang kupakai.

Ah, aku menjadi melankolis. Jiwa premanku meleleh jika berbicara wanita. Sesangar apa pun preman, jika dihadapkan pada cinta, tetap saja melankolis.

Lagi pula, siapa aku? Hanya penggemar Nabila di Instagram. Dan kurasa, memang hanya di Instagram. Tidak mungkin sampai bisa mengenal Nabila di dunia nyata.

Jika dibanding peliharaan Nabila yang tadi mengendarai ninja, sepertinya aku bukan apa-apa. Ninja memang sering kali menjadi momok menakutkan bagi pemuda miskin sepertiku. Menikung.

**

Aku pamitan pada yang lain. Aku merasa butuh ketenangan terlebih dahulu 

"Kemana, Beng?" tanya Jajang.

"I'tikaf, ka masjid.." kataku.

"Oh" balasnya.

Aku lantas pergi. Tidak ke masjid. Aku berangkat ke Ciminyak terlebih dahulu. Entahlah, aku merasa ingin ke Ciminyak. Mungkin gara-gara tadi aku bermimpi datang ke sini.

Kebetulan aku juga lapar. Aku ingin makan.

**

Pukul lima sore, selepas shalat ashar, notifikasi instagramku berbunyi. Aku buka. Ada pesan yang masuk.

"Tadi yang di jalan itu kamu?" tertulis dalam pesan masuk.

Pesan itu dari Nabila.

Betapa jantungku berdebar agak kencang. Tidak biasanya Nabila meresponku. Ini pertama kalinya Nabila berinteraksi denganku. Ia membalas pesanku setelah sekian lama tidak pernah sekali pun menghiraukanku.

Aku balas:
" :) " (emoticon senyum)

"Kok, malah emot senyum?" tanyanya.

"Iya. Yang tadi di jalan itu aku," balasku.

"Maaf ya. Tadi aku kaget. Jadi bingung pas kamu nanya," balasnya.

"Tak apa. Maaf tadi aku lancang," tulisku.

"Lancang kenapa? Biasa aja kali a.." katanya.

Anyir! Nyebut "Aa". Sugan teh bakal nyebut "Mang".

" :) " (emoticon senyum)

"Lagi apa?" tanyanya kemudian.

"Lagi makan, di ciminyak.. Hehe," balasku.

"Oh, udah beres ngenclengnya?" tanyanya.

"Belum. Aku pergi duluan. Nyari makan. Yang lain masih ngencleng."

"Ini nomor whatsaapku, 0838213193033 " balasnya.

" Lho? Kok tiba-tiba ngasih nomor?" tanyaku.

"Bukannya dulu kamu sering minta nomor WA ku? Maaf, baru sekarang aku kasih.." katanya.
**

Percakapanku saat itu terhenti. Hapeku mendadak mati. Baterenya habis.
**

Aku menjadi kepikiran. Entah ada angin apa, kenapa Nabila yang dulu tidak pernah membalas pesanku sama sekali tapi sekarang muncul tiba-tiba menghubungiku.

Aku seperti mendapat angin segar. Serasa dibukakan pintu, meski sedikit, untuk sekedar silaturahmiku dengannya. Tapi, ya, hanya silaturahmi.

Setelah melihat Nabila tadi, aku tidak lagi memiliki asa untuk berimajinasi menjadi pasangan Nabila. Kini aku sadar diri. Siapa aku? Siapa Nabila? Kita bagai bumi dan langit. Lagi pula, nampaknya Nabila sudah punya peliharaan. Semacam monyet, atau apalah.

Aku tidak ingin terjatuh dalam pengaharapan cinta yang kosong. Aku tidak ingin pengalamanku dulu terulang. Dulu, waktu masih sekolah di SMA yang ada di Batujajar, aku penah punya pacar. Namanya Ismi. Ia mencampakanku. Dan itu sakit. Aku terus berharap kembali padanya, mengejarnya, mencintainya, tapi ia malah terus pergi, menghindar, dan akhirnya menjalin kasih dengan orang yang lebih mapan dariku. Bagiku itu sakit.

Mungkin ini lebay. Tapi setiap orang punya kisah asmaranya masing-masing. Dan kisah asmarku, ya, begitulah.
___
Bersambung.. 
Untuk kelanjutannya, bisa minta ke penulis (gratis) di Instagram: Ang Rifkiyal