Ayumi dan Zainu: Kisah Gadis Pemakan Batu Batere

Admin
Ayumi dan Zainu (1): Sosok Misterius


AYUMI & ZAINU

Namaku Ayumi. Lengkapnya Ayumi Nur Aziza. Aku adalah seorang mahasiswi tingkat akhir di Universitas Al-Azhar Mesir. Ayahku bernama Salim Mansur, ia merupakan dosen di salah satu Universitas Negeri di Bandung. Dan ibuku bernama Naomi Yukizawa, ia merupakan dokter spesialis jantung yang bekerja di salah satu rumah sakit di kota Cimahi.

Aku punya seorang adik, namanya Keisuke Alghifari. Dia masih SMP dan saat ini sedang tidak ada di rumah. Keisuke tinggal di pesantren. Tapi sore ini, katanya ia akan pulang ke rumah untuk menagih oleh-oleh yang aku bawa dari Mesir.

Pagi ini cuacanya gerimis. Kota Cimahi terasa lembab. Suasananya sejuk tapi cenderung dingin. Sejak subuh hujan turun tiada henti. Membuatku gereget. Dan aku ingin menikah.

Aku sungguh menikmati suasana ini. Suasana gerimis yang memang sudah jarang aku temui sejak tinggal di Mesir.

Ini adalah hari kedua aku berada di rumah. Hampir dua tahun aku tinggal di Mesir, merantau di negeri seribu menara. Negerinya para nabi.

Saat ini suasana rumah sedang sepi. Bapak dan Bunda sudah berangkat kerja. Mereka memang orang sibuk. Di rumah, hanya tinggal aku, Teh Ani, dan Kang Yadi.

Teh Ani dan Kang Yadi adalah pasangan suami istri yang berkerja di rumah kami. Meski begitu, aku sudah menganggap keduanya sebagai kakakku sendiri.

"Neng!" terdengar suara Teh Ani yang memanggilku dari luar kamar.

"Ada apa teh?" sahutku.

"Ada telepon dari Bunda," katanya.

"Oh iya, Teh," kataku sembari bangun dari tempat tidur, "Tunggu sebentar!" lanjutku.

Ku angkat telepon tersebut. Dari Bunda. Beliau menyuruhku untuk menjemput Keisuke ke pesantren. Soalnya kata Bunda, pihak pesantren mewajibkan para santrinya agar dijemput oleh keluarga jika ingin pulang di luar jadwal libur.

Oke, aku iya-kan. Aku setujui perintah Bunda. Lagi pula, aku sudah kangen dengan Keisuke. Aku ingin segera bertemu dengannya.

Aku mengajak Teh Ani dan Kang Yadi. Mereka berdua ikut menjemput. Supirnya Kang Yadi. Ia yang mengemudikan Honda jazz di sepanjang perjalanan menuju pesantren yang lokasinya berada di daerah Cililin, Bandung Barat. Jaraknya sekitar dua jam dari rumah tempat di mana aku tinggal. Sementara aku dan Teh Ani duduk di kursi belakang sambil asik mengobrol.

Kepada Teh Ani, aku bercerita tentang kehidupanku di Kairo. Hidupku di sana cukup kerasan kataku. Masih lebih asik tinggal di Indonesia. Atau setidaknya tinggal di Kyoto Jepang, di kampung halaman Bunda. Di Kairo semua serba kurang nyaman. Apalagi setelah adanya konflik politik yang terjadi di mesir beberapa tahun terakhir.

Di Kairo, mulanya aku tinggal sendiri di sebuah flat mewah yang tak jauh dari jami'ah Al-Azhar. Namun kemudian aku merasa tidak betah tinggal sendiri. Aku hanya bertahan enam bulan tinggal di flat itu.

Kemudian aku diajak oleh tiga mahasiswi asal Indonesia. Mereka adalah Sifa, Dina dan Lia. Aku diajak oleh mereka untuk tinggal bersama di sebuah flat sederhana yang tak jauh dari tempat dimana aku tinggal sebelumnya.

Alhamdulillah, aku betah tinggal bersama mereka. Sifa, Dina dan Lia adalah orang-orang yang baik, cerdas, dan tentunya asik untuk diajak ngobrol sambil makan seblak.

Awalnya, aku mengenal Sifa, Dina, dan Lia ketika sedang berada di KBRI yang ada di Kairo. Saat itu kami sedang sama-sama mengikuti pengajian yang rutin diadakan oleh mahasiswa NU di Mesir.

Tinggal di Mesir membuatku memiliki rasa cinta tanah air yang lebih mendalam. Spirit keindonesiaan menjadi lebih terasa. Bahkan menggebu. Hanya melihat bendera merah putih yang berkibar di kantor KBRI saja, rasanya sudah sangat istimewa. Beda halnya ketika dulu waktu masih di Indonesia, melihat bendera merah putih terasa biasa saja, tidak ada rasanya.

***

Waktu berlalu. Tak terasa obrolanku dengan Teh Ani membuat perjalanan menjadi seakan pendek. Tak sadar, kini kami sudah sampai di pesantren tempat di mana Keisuke nyantri. Aku lantas bergegas bersama Teh Ani, turun dari mobil dan beranjak menuju kantor sekretariat pesantren yang tak jauh dari tempat dimana kami parkir.

Di kantor kesekretariatan itu sepi, tidak ada siapa-siapa. Emmmh? Kecuali ada seorang lelaki yang sedang sibuk menyapu lantai sambil membelakangiku. Ia nampak khusyu dengan sapu dan pengki yang ada di tangannya. Membuatku ragu untuk sekedar menyapa. Tapi, ya, tetap harus aku sapa.

“Assalamualaikum,” kataku.

Lelaki itu langsung menoleh ke arahku. Ia sesaat tertegun, tapi langsung menunjukan senyum ramah.

“Eh? Ayumi?,” katanya menyebut namaku.

Aku kaget, ia menyebut namaku. Ia mengetahui namaku. Sedangkan aku tidak merasa mengenalnya.

“Siapa ya?,” tanyaku dengan agak bingung.

Ia tidak langsung menjawab pertanyaanku. Hanya saja raut mukanya memang menunjukan bahwa sepertinya ia sudah mengenaliku.

“Ayumi kan?” ujarnya lagi.

“Iya,” kataku sambil berusaha senyum. Meski aku sendiri sebenarnya bingung. Kenapa dia bisa tahu namaku? Apa mungkin kita pernah saling kenal sebelumnya? Atau memang aku yang familiar dikenal banyak orang?

“Enggak, itu di tas ada namanya, ‘Ayumi Nur Aziza’,” katanya.

“Oh,” kataku.

Entah kenapa aku jadi salah tingkah. Kupikir, kita sudah saling mengenal sebelumnya. Ternyata, ia hanya melihat nama yang ada di tasku. Tasku memang aku kasih nama.

***

“Ada yang bisa saya bantu, Ukhti?” katanya.

“Iya Kang, saya keluarga dari salah satu santri yang mondok di sini, namanya Keisuke,” kataku. Lantas aku menjelaskan maksud dan tujuanku lebih lebar, intinya untuk menjemput Keisuke. Aku memohonkan perizinan agar Keisuke bisa tinggal di rumah selama beberapa hari.

"Keisukenya, ada?" lanjutku.

"Iya, ada. Tunggu! Aku panggilkan,” ujarnya yang kemudian berjalan keluar ruangan.

Dari balik jendela, aku memperhatikan ia berjalan menuju gedung asrama. Namun entah mimpi apa, aku lantas menyaksikan kejadian unik dan menggelikan. Aku melihat ia terpeleset saat hendak naik tangga. Sarungnya tersingkap dan menampakan bagian terlarang. Yang untungnya masih menyisakan, maaf, celana dalam. Aku langsung memalingkan muka, berbarengan dengan raut mesem menahan rasa geli. Dan, ya sudahlah, tak apa. Tak usah dipikirkan.

Tak berapa lama, Keisuke datang. Ia sendirian. Ia nampak ganteng dengan sarung dan peci hitam di kepalanya. Betapa senangnya aku. Kembali bisa melihat sosok Keisuke yang kini nampak sudah dewasa.

"Assalamualikum," kata Keisuke. Ia menghampiriku.

"Walaikumsalam," kataku sembari beranjak menyambutnya. Kemudian Keisuke menyalamiku, dan aku memeluknya.

"Ih? Kok Teteh sekarang bau ya?" kata Keisuke tiba-tiba nyeletuk setelah aku peluk.

Aku sedikit bingung. Masa iya aku bau? Perasaan, aku wangi.

“Enggak ah,” kataku sembari mencium aroma tubuhku.

“Iya,” katanya.

“Bau apa?” tanyaku.

“Bau mumi,” jawabnya.

“Maksudnya?”

“Kelamaan tinggal di Mesir, sih,” katanya.

"Yeii.. Ente juga bau kastrol," kataku.

"Biarin.. masih mending bau kastrol, dari pada mumi, bau bangkai!"

"Ih dasar, kamu juga budug!" kataku.

"Haha, bae we," katanya mengejek nakal.

"Iiiih Keisuke kok gitu?" kataku yang kemudian merengek ke arah Teh Ani. Teh Ani hanya tersenyum.

"Oh iya. Ada salam teh!" Ujar Keisuke melanjutkan.

"Dari siapa?" tanyaku penasaran.

"Fir'aun! Haha."

"Ihhhhhhh!!!!!!!" aku ketus.

"Enggak. Beneran ada salam, deh,” kata Keisuke menarik ucapan, “Dari A Jendral. Santri senior yang suka membimbing Akei main playstation di kantor kesekretariatan. Tadi dia nyuruh menyampaikan salam sama teteh," ujarnya.

Oh, mungkin si akang yang tadi pikirku. Ya sudahlah, walaikumsalam saja.

Lantas, setelah itu aku melanjutkan obrolan dengan Keisuke untuk beberapa saat. Dan kemudian mengajaknya untuk sowan ke rumah Pangersa Kiyai meminta izin.

***

Malam telah tiba. Kami sekeluarga makan malam bersama. Menunya masakan jepang. Bunda yang masak. Dibantu aku dan Teh Ani.

"Intabih Akei Chan! La tu’ajjil fil ukl!" kataku kepada Keisuke yang memang biasa dipanggil Akei Chan. Maksudnya, hati-hati jangan terburu-buru makannya.

"Mafhum.. mafhum.. (Iya ngerti)" sahut Keisuke sambil menggigit udang segar bakar. Kulihat Bunda hanya tersenyum. Bapak juga.

Aku merasa senang. Sudah lama aku tidak merasakan suasana seperti ini. Suasana rumah yang penuh dengan kehangatan. Berkumpul bersama keluarga dalam keharmonisan yang begitu kental terasa.

Selepas makan, Bapak bercerita bahwa Keisuke bulan lalu berhasil menjuarai Musabaqoh Qira'atul Kutub tingkat provinsi se-Jawa Barat. Sejenis lomba membaca dan memahami kandungan kitab kuning karya ulama-ulama klasik yang diadakan oleh Departemen Agama. Ia meraih juara satu untuk spesialisasi kitab fiqih I'anah At-tholibin karya Sayyid Al-Bakry. Luar biasa pikirku untuk ukuran anak seusianya. Walau kadang, aku berpikir dia juga agak sedikit nakal.

Di tengah perbincangan, telepon rumah berbunyi. Lantas aku beranjak untuk mengangkatnya.

"Halo? Assalamu’alaikum," terdengar salam dari seorang pria yang dari suaranya nampak seusia.

"Wa’alaikumsalam, ini siapa?" tanyaku.

"Aku spiderman," katanya.

"Hah?" aku kaget mendengar jawabannya, "Ini siapa?" lanjutku lagi.

"Yawdah, aku batman."

"Iih, maaf jangan bercanda! Mau bicara dengan siapa?" tanyaku.

"Dengan kamu," katanya.

“Hmmm.”

Aku rasa orang ini hanya orang iseng. Maklum di zaman sekarang suka banyak orang-orang yang suka iseng lewat telepon. Mungkin baiknya aku tutup saja.

"Ayumi!" katanya menyebut namaku. Aku jadi heran, kok dia tahu namaku?

"Maaf, kamu siapa?" tanyaku.

"Aku malaikat rahmat yang sedang berpatroli di langit Indonesia, Ayumi."

"Terus? Aku harus bilang ‘wow’ gitu?"

"Aku serius ih!" ucapnya.

"Tapi aku bercanda!" kataku meladeni.

"Tapi kamu gak lucu, Ayumi."

"Biarin," kataku.

"Kamu cantik" katanya tiba-tiba.

"Iyalah cantik. Masa ganteng. Aku kan perempuan," kataku membuat alasan.

"Ah basi! Alasan klasik saat seorang perempuan sedang dipuji," katanya datar.

"Heh? Yawdah jangan muji!" kataku dengan nada tinggi. Aku agak terpancing.

"Hehe.."

"Apa cengengesan?"

"Udah ah!" Ujarnya singkat.

Kemudian kudengar nada tulalit. Sambungannya ia matikan tiba-tiba. Ih menyebalkan. Astagfirulloh. Siapa dia? Membuatku menjadi sedikit tidak biasa. Membuatku agak tinggi.

"Dari siapa, Neng?" tanya Bapak.

"La adrii," kataku. Artinya, tidak tahu.

Tidak berapa lama, belum sampai dua menit, teleponnya sudah berbunyi lagi. Aneh nih orang. Mau apa sih?

"Halo! Mau apa lagi ih?" kataku agak malas.

"Assalamu’alaikum. ini Ayu?" terdengar suara yang berbeda. Sepertinya ini bukan orang yang tadi. "Aku Ihsan," lanjutnya.

"Oh Kang Ihsan. Afwan! Kirain orang yang tadi salah sambung!" kataku dengan sedikit agak malu.

"Iya. Gak apa-apa," katanya.

Kang Ihsan adalah kakak kelasku waktu SMA. Ia adalah seorang pengusaha muda. Ayahnya merupakan teman akrab ayahku. Jadi, dia sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri. Meski kadang, aku sering bingung dengan sikap Kang Ihsan.

"Ada keperluan apa, Kang?" aku nanya.

"Enggak. Cuma mau nelepon aja. Mmh, Ayu udah tahu kan? Nanti hari Sabtu ada reuni tiga angkatan?"

"Oh.. Iya tahu."

"Kamu harus hadir. Mumpung lagi di Indonesia."

"Iya, Kang. Insyallah."

"Tahu gak? Acara reuniannya aku yang sponsorin lho, Yu."

"Oh.. Bagus atuh, Kang."

"Dananya gede, Yu. Kalau gak ada aku, kayanya reuniannya gak akan jadi."

"Oh."

"Makanya nanti kamu harus hadir. Harus lihat muka-muka para panitia yang terbebas dari stress mikirin pendanaan!"

"Iya. Insyallah, Kang."

"Harus! Nanti kamu aku jemput. Kebetulan aku baru beli mobil baru buatan Eropa."

"Gak usah, Kang! Entar ngerepotin. Lagian Ayu mau berangkat sama Sarah dan Imas. Udah janjian."

"Idihh! Paling naik angkot kalau sama mereka itu."

"Gak apa-apa kok, Kang. Gak masalah," kataku sembari menghela nafas sejenak. "Oh iya, Kang, udah dulu ya! Ayu mau bantu Bunda nyuci piring," ucapku lagi.

"Oh.. Ya udah. Tapi jangan lupa, nanti reunian mesti hadir!"

"Iya, Kang. Terimakasih sebelumnya," kataku.

Kemudian aku metutup teleponnya setelah sebelumnya kami saling mengucapkan salam.

Kang Ihsan memang memiliki tipikal yang aneh. Dan keanehannya itu sulit aku deskripsikan. Aku sendiri sering kurang mengerti dengan tingkah Kang Ihsan. Sebenarnya Kang Ihsan orangnya baik, tapi, ya, gimana ya?

"Yang barusan siapa, Neng?" kini Bunda yang nanya.

"Kang Ihsan, Bunda," kataku.

"Oh." Bunda simpel.

***

Hari berikutnya. Di lapangan Brigif Cimahi sedang diadakan festival musik dan sekaligus pasar buku besar-besaran. Aku dan Teh Ani jalan-jalan ke sana. Tapi Teh Ani pulang duluan. Ia disuruh Bunda untuk membantu mempersiapkan acara arisan ibu-ibu nanti sore.

Di sana, aku mampir ke salah satu kios buku. Aku menemukan sebuah novel yang judulnya cukup unik, “Front Pembela CInta”. Kata penjualnya, novel ini merupakan cerita fiksi romantis yang dikemas dalam balutan tawa. Di dalamnya, dikisahkan seorang pemuda yang mencintai seorang gadis. Aku dianjurkan untuk membaca ceritanya, katanya.

Dari cover bukunya tertulis, “Hanya ada satu cara untuk mencintai dan dicintai. Ya, mari tertawa!”

Mmhhh, agak nyeleneh. Kenapa bisa? Apa hubungannya mencintai dengan tertawa? Apa pula hubungan dicintai dengan tertawa? Bukankah kebanyakan tertawa, atau tertawa tanpa sebab justru merupakan tanda-tanda orang sakit jiwa?

Ya sudah, aku beli, satu. Untuk menghilangkan rasa penasaran. Mungkin bisa aku baca untuk mengisi waktu luang.

Di kios lain, aku membeli tafsir Al-Munir, atau tafsir Marah Labid karya Syeikh Nawawi Al-Bantani. Ya, untuk menambah beberapa referensi tafsir yang sudah aku miliki. Di Mesir, tafsir ini cukup susah aku cari. Atau mungkin aku yang malas mencari. Pedahal sudah lama aku ingin mendapatkannya. Tafsir karya ulama besar asal Indonesia yang hijrah ke mekah dan menetap di sana, kemudian mengajar di masjidil haram. Saat umroh beberapa tahun lalu, aku sempat berziarah ke makam beliau yang berada di Ma'la.

Selesai belanja buku, aku langsung pulang. Naik angkot. Agak gerah. Supirnya geje. ngetemnya lama banget. Pedahal dari Brigif menuju rumah jaraknya masih jauh. Kalau ditambah dengan ngetem bisa menghabiskan banyak waktu.

Sampai di rumah, aku langsung mandi untuk menyegarkan badan yang terasa lengket akibat banjir keringat. Lantas aku bergegas menunaikan shalat dzuhur. kemudian rebahan di kasur sembari mendengarkan shalawat yang aku putar dari hape kecilku.

Mataku berlinang. Lirik-lirik shalawatnya mengantarkanku pada kerinduan yang sangat menggebu. Aku rindu Rasulullah. Rindu sosok idaman. Sungguh!

Aku kangen ih. Aku ingin menikah. Eh? Entahlah. Aku tidak tahu dengan apa yang ada dalam pikiranku. Setiap kali mendengar nama Rasulullah hatiku selalu terenyuh, dan membuatku ingin segera menikah. Emmmh? Mungkin ini terdengar aneh. Tapi aku memag merasakan demikian.

Tiba-tiba suara shalawatnya berhenti, berganti dengan nada panggilan masuk. Ada yang menghubungi.

"Halo, assalamu’alaikum?" kataku.

"Wa’alaikum­-sayang-warohmatullohi wabarokatuh," katanya.

"Ih! kok gitu? Ini siapa?" tanyaku.

"Spiderman," ujarnya.

Spiderman? Aku jadi teringat penelepon tadi malam. Nampaknya orang yang sama.

"Kok? kamu tahu nomor hapeku?"

"Iya, tadi dikasih tahu Barrack Obama."

"Lho? kok bisa?"

"Ya bisalah. Kan aku lagi berbohong."

"Ih aku serius! Kamu siapa?"

"Yawdah, aku Batman."

"Nyebelin ih!" kataku.

"Tapi kamu suka kan?" katanya.

"Enggak!"

"Kamu suka makan rumput ya?"

"Enggak!"

"Kamu suka membajak sawah ya?"

"Enggak!"

"Kentut kamu bau ya?"

"Enggak!"

"Terus? kentut kamu wangi? gitu?"

"I.. iya.." kataku agak ragu.

"Haha.." Ia terdengar tertawa.

"Hehe," aku pun jadi ikut tertawa. Keceplosan.

***

“Aku suka mendengar kamu tertawa,” ujarnya.

“Kenapa?” aku nanya.

“Aromanya wangi.”

“Iya gitu? Emang nyampe aromanya?” aku nanya lagi.

“Iyalah! Aku kan punya insting yang kuat,” katanya.

“Aku gak percaya,” ujarku.

“Beneran! Kamu harus percaya,” tandasnya seperti sedang meyakinkan, “Malah aku bisa tahu, bulu hidung kamu gondrong, kan?” ujarnya lagi.

“Ih! Enggak,” tampikku.

“Oh. Berarti aku salah.”

***

"Kamu siapa ih?" Aku nanya lagi.

"Siapa ya?” Ujarnya seperti sedang bertanya pada diri sendiri. “Jujur, sebenarnya aku adalah seorang pujangga yang tak berpuisi. Aku adalah melodi yang tak berirama. Aku adalah debu liar yang terhempas angin tiada arah. Ludahi saja aku bila najis mugoladzoh bagimu. Tampar saja aku bila merisih luka hatimu."

"Hmm," aku bingung harus merespon apa dengan kata-katanya.

Kemudian kudengar dia melanjutkan kata-katanya lagi. Eh, bukan! Ternyata dia membacakan sesuatu yang sepertinya aku kenal. Itu surat Ar-Rahman. Ia membacakannya dengan murottal.

Kudengarkan suaranya dengan seksama. Namun lama-lama, aku malah meresap dalam, seolah terhipnotis oleh alunan qira'atnya yang indah. Aku tak menyangka suaranya begitu indah, fasih, juga merdu. Siapa dia?

Entah mengapa tiba-tiba mataku berlinang. Hatiku berdesir. Tubuhku merinding saat mendengarkan qira’atnya. Apalagi, aku adalah tipe orang yang sangat peka dan perasa. Kemampuanku dalam berbahasa arab membuatku jadi mengerti arti dan makna dari setiap ayat yang dia bacakan. Mengantarkan aku pada penghayatan yang begitu dalam.

Sesekali aku mendengar deru nafasnya, begitupun dengan batuknya. Mungkin dia sedang terkena flu.

"Maha benar Allah dengan segala firmannya," ujarnya kemudian. Dan tak berapa lama, terdengar suara tulalit, sambungannya ia akhiri tanpa permisi.

Air mataku terasa mengalir di pipiku. Aku mengusapnya sembari mengambil nafas panjang. Melegakan suasana yang barusan terasa membuatku menjadi sedikit melankolis.

Ih Spiderman! Siapa dia? Menjengkelkan! Tapi juga membuatku menjadi penasaran. Sekilas aku dibawanya tertawa, kemudian cemberut, kemudian melankolis.

Tapi sekarang bukan waktunya untuk memikirkan orang yang tidak jelas seperti dia. Aku merasa lelah, ngantuk. Aku ingin tidur. Kupejamkan kedua mataku. Gelap.
***

PART 2
Ada taman bunga. Hijau. Semua tercium wangi. Terlihat menara Al-Azhar. Sifa, Dina, Lia, dan teman-teman yang lainnya tersenyum padaku. Kemudian kulihat Bunda memakai kimono sambil memeluk tangan Bapak. Mereka pun tersenyum padaku. Keisuke lucu. Ia memberiku sebuah berlian berbentuk Doraemon. Dia berkata, "Istaiqidii yaa ukhty! Istaiqidii! Aqimii sholah!”[1]

Kubuka kedua mata, tapi ini bukan di Al-Azhar. Yang kulihat hanya atap berwarna putih dan dinding berwarna pink. Aku kaget. Ini dimana? Oh, ini di kamarku. Kamar yang ada di Indonesia. Kamar yang tadi aku tiduri. Aku masih nampak asing dengan kamar ini. Mungkin karena belum terbiasa. Terlalu lama tinggal di luar.

Kulihat Keisuke menarik tanganku.

"Madza taf'al Akei Chan?"[2] Aku nanya walau agak lesu.

"Istaiqidii! Hayya bi iqomati sholah,"[3] ujar Keisuke.

"Kam as-sa'ati al-aan?"[4]

"Ar-roobi'ah wa nisfu."[5]

"Hah?” kataku agak kaget. “Alhamdulillah alladzi ahyana ba'da ma amaatana wa ilaihi nusyuur."

Kemudian aku bangkit meski agak berat. Mungkin sekitar dua jam aku tertidur.

"Teh!" Keisuke menyeru.

"Apa?"

"Sekarang Akei mau main keluar. Mau jalan-jalan sore. Nanti tolong bilangin sama Bunda!"

"Bilang aja sendiri."

"Enggak ah! Sama Teteh aja. Bunda lagi ada tamu, arisan."

"Iyalah, nanti teteh bilangin."

Kemudian Akei lantas berlalu setelah aku memberinya uang seratus ribu. Selanjutnya, aku bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlu.

***

Malam semakin pekat. Saat ini jam sudah menunjukan pukul sepuluh. Keisuke yang tadi izin untuk berangkat jalan-jalan sore namun sampai saat ini masih belum pulang. Bunda dan Bapak nampak khawatir. Mereka nampak cemas.

Aku sudah mencoba menghubungi pihak pesantren, barangkali ia pergi ke sana. Namun mereka tidak tahu keberadaan Keisuke. Aku pun mencoba menghubungi beberapa teman sekolahnya. Namun mereka pun tidak tahu saat ini Keisuke ada di mana. Aku semakin gelisah.

Waktu terus berjalan. Sampai keesokan harinya Keisuke belum juga pulang. Tidak ada kabar darinya. Bapak dan Kang Yadi kemudian berinisiatif untuk mencari Keisuke ke tempat-tempat yang mungkin didatangi oleh Keisuke. Aku dan Bunda tetap di rumah. Bunda nampak tidak bisa diam. Ia nampak gelisah. Raut wajahnya nampak muram. Semalaman, kami memang tidak bisa tidur.

Sampai siang hari belum juga ada kabar tentang keberadaan Keisuke. Pedahal Bapak dan Kang Yadi sudah berkeliling ke beberapa tempat, namun belum juga ada hasil. Bahkan, sangking kesalnya, Bunda sempat berinisiatif untuk meminta bantuan dari teman-temannya yang ada di Polres Cimahi. Namun Bapak melarangnya. Katanya, tunggu dulu sampai nanti malam.

Jam tiga sore hapeku berbunyi. Kulihat dari layar, nampak nomor penelepon yang kemarin mengkau sebagai spiderman. Tapi aku abaikan teleponnya. Hatiku sedang tidak enak untuk menanggapi orang aneh seperti dia. Apalagi di tengah suasana genting seperti ini.

Bunda nangis. Aku pun jadi ikut nangis. Keisuke memang anak kesayangan keluarga. Anak bungsu sekaligus anak lelaki satu-satunya. Jadi wajar jika kami merasa begitu sangat khawatir dengannya. Apalagi Keisuke punya penyakit asma yang cukup akut dan sampai sekarang belum sembuh total. Membuat kami semakin khawatir akan kondisinya.

Tak berapa lama, telepon rumah terdengar berbunyi. Aku segera menghampiri dan mengangkat teleponnya.

"Halo? Assalamu’alaikum," kataku.

"Walaikum salam,” jawab seseorang yang suaranya aku kenal dari balik sambungan, “Teteh!" seru seseorang di balik sambungan menyeruku.

"Hah? Keisuke?" tanyaku.

Aku kaget mendengar suara Keisuke. Aku takut dia kenapa-napa.

"Iya," katanya.

"Heh! Kamu dimana?" kataku agak sewot.

"Di Sindangkerta, lagi main."

"Sama siapa? Pulang!" ucapku agak tinggi.

"Gak mau! Besok aja! Tanggung!" katanya.

"Pulang!" kataku menegaskan.

"Gak mau! Tanggung!"

Kebetulan saat itu Bapak datang. Aku berikan teleponnya ke Bapak. Biar Keisukenya agak nurut.

"Akei Chan?" // "Dimana?" // "Oh iya, gak apa-apa, hati-hati disana. Jangan lupa makan!" // "Tolong kasihkan teleponnya sama Kang Zainu! Bapak mau bicara." // "Kang! Nitip ya!" // "Ha ha ha," // "Iya, maaf ngerepotin, Kang!" // "Syukron, Kang!" // “Yo, Assalamu’alikum"

***

Aneh. Bapak kok nampak tenang. Ia nampak tidak khawatir ketika berbicara dengan Keisuke.

"Gimana, pak?" kataku penasaran.

"Gak apa-apa, Akei Chan katanya lagi di rumahnya Kang Zainu. Kakak seniornya di pesantren," jawab Bapak.

Aku langsung menatap Bunda. Bunda nampak tersenyum. Ia terlihat jadi lebih tenang. Bunda kemudian memeluk Bapak. Dan Bapak pun balas memeluk Bunda. Kulihat Bapak lantas mencium kening Bunda. Pun bibir Bunda. Bunda senyum. Ia nampak manja melepaskan kelegaannya di pundak Bapak. Sisa-sisa air mata masih nampak belum kering di pipi Bunda. Mereka nampak romantis.

Tadinya aku mau nanya-nanya sama Bapak. Tapi urung kulakukan. Takut menggangu suasana.

Ada rasa penasaran yang aku rasakan saat ini. Kenapa Bapak tidak marah kepada Keisuke atau kepada seseorang yang sedang bersama Keisuke, yang, siapa tadi? Aku lupa namanya. Pedahal Keisuke jelas-jelas telah membuat keluarga cemas. Penasaran banget.

Selain itu, kenapa Bapak langsung percaya pada orang yang kini sedang bersama Keisuke. Dan kenapa pula nomor yang digunakan oleh Keisuke tadi ternyata setelah kuperhatikan sama dengan nomor yang biasa digunakan oleh Spiderman saat menghubungiku. Orang aneh yang pada percakapan terakhir melantunkan surat Ar-Rahman.
______________
[1] Bangun! Ayo sholat!
[2] Kamu sedang apa Keisuke?
[3] Bangun! Ayo sholat dulu!
[4] Jam berapa sekarang?
[5] Setengah lima.
***

PART 3
Malam telah tiba. Waktu liburan masih lama. Aku masih sono dengan Cimahi, Bandung dan Indonesia. Masih ada dua bulan untukku tinggal di rumah. Waktu yang sangat berharga untuk digunakan bercengkrama bersama keluarga. Dan mesti aku manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Aku tidak mau ada kejadian yang membuat gelisah kembali terulang. Sungguh, hal tersebut sangat menggangu ketenangan dan kenyamanan.

Saat ini, alunan shalawat masih kuputar dari hapeku. Kerinduan akan sosok suami kembali menggebu. Entah kenapa, sholawat akhir-akhir ini membuatku ingin menikah.

Kangen ih! Kangen sosok lelaki yang akan menjadi imamku. Siapa ya? Aku ingin menikah. Tapi, aku takut hamil. Hehe. Takut dihamili suamiku kelak. Gimana rasanya? Pasti malu. Hmmh. Entah kenapa aku senyum-senyum sendiri, seolah-olah sedang bercanda dengan diri sendiri.

Kulihat di rak lemari, ada sebuah novel yang nampak masih baru. Masih terbungkus rapih oleh bungkus plastik. Novel yang aku beli kemarin. Mungkin sekarang adalah saat terbaik untuk membacanya.

"Sebuah novel pembangun jiwa pembangkit arwah. Karya penulis mabuk yang pernah meraih penghargaan lelaki terganteng se-Jawa Barat versi majalah Dusta.”

Duh. Kok pengantarnya begitu? Masa pengantarnya gitu? Ih?

"Novel yang di dalamnya lebih segar dari jus Alpukat, lebih hangat dari gorengan yang baru masak. Novel yang tidak sengaja aku tulis. Khusus aku persembahkan buat orang-orang yang gemar membaca. Ta'dziim-ku buat kalian yang gemar membaca!"

Aku jadi teringat. Dulu, Bunda pernah bilang, katanya aku harus rajin membaca, juga rajin menulis. Karena dengan membaca kita bisa mengenal dunia, dan dengan menulis dunia bisa mengenal kita. Aku setuju itu.

“Novel yang ditulis oleh Zain Asakir. Seorang penulis tunggal. Kenapa tunggal? Karena masih lajang dan belum punya istri.”

Katanya, Ia menulis dan menyusun novel tersebut dalam keadaan sebatang kara. Hanya dihiasi kopi dan rokok. Tapi inspirasinya keroyokan. Kasihan.

Katanya pula, teman-temannya selalu hadir dalam berbagai wujud inspirasi. Oleh karena itu, ia berterimakasih kepada semua teman-temannya yang telah memberikan banyak dukungan. Teman-teman yang mungkin sekarang sedang berada di hutan dan di penangkaran buaya.

Haha!

Aku jadi senyum-senyum membacanya. Tadinya aku berusaha anggun, menahan senyum. Tapi akhirnya ketawa. Ah, penulisnya mungkin sejenis buaya, mungkin.

Pengantarnya nyeleneh. Tidak penting untuk dibaca. Tapi membuatku penasaran dengan keunikannya.

"Neng!" kudengar Teh Ani memanggilku dari balik pintu kamar.

"Ada apa teh?"

"Ada telepon, dari Kang Ihsan."

"Oh.. Iya, tunggu sebentar!" kataku sambil menandai halaman novel yang baru aku baca. Lantas aku beranjak menuju tempat di mana telepon rumah ditaruh.

"Halo, assalamua’laikum, Kang Ihsan?" kataku.

"Iya. Wa’alaikumsalam, Ayu.”

"Ada apa, Kang?" tanyaku.

"Gimana? Besok lusa bisa datang kan ke acara reuni?"

"Insyallah kang. Tadi Ayu sudah menghubungi Sarah dan Imas. Insyallah kami datang."

"Alhamdulillah, berarti doaku terkabul."

"Hehe. Emang Akang berdoa apa?"

"Semalam, aku tahajud, Ayu. Rutin sih tiap malam, shalat duha juga, ngaji juga, tiap hari. Malam tadi, aku berdoa biar kamu datang ke acara reuni."

"Oh."

"Aku orangnya rajin, Ayu. Urusan ibadah, aku jarang ketinggalan."

"Iya, bagus."

"Bahkan aku sering banget sedekah. Kemarin, hampir sepuluh juta aku sumbangin uangku ke pengurus DKM yang maksa-maksa datang ke rumah. Ih jengkel deh! kalau aku bukan orang sabar, sudah aku usir."

"Oh."

"Iya mesti sabar, biar disayang Tuhan. Kan Allah beserta orang-orang yang sabar. Gitu kan? yang seperti dalam surat.. emhh.. surat.. surat apa sih lupa?"

"Al-Baqoroh, Innalloha ma'asshobiriin," kataku.

"Iya, yang itu kayanya."

"Iya, itu," kataku lagi sembari menghela nafas panjang. "Kang, udah dulu ya! Ayu ngantuk. Ayu mau shalat isya dulu, takut ketiduran," kataku lagi.

"Oh, Iya. Tapi jangan lupa, nanti reuni harus datang!" ujarnya.

Kemudian, kami saling menutup sambungan setelah sebelumnya mengucap salam.

Sebenarnya Kang Ihsan adalah orang yang sangat baik. Bukan hanya padaku, tapi juga pada keluargaku. Tapi entah kenapa aku sering malas jika mesti berbicara dengannya. Soalnya Kang Ihsan itu kadang dewasa, kadang kekanak-kanakan. Kadang asik, kadang juga menyebalkan. Beda banget dengan Gus Usman, ketua Pelajar NU Mesir.

Gus Usman adalah mahasiswa jurusan Hadist di jami'ah Al-Azhar yang baru lulus beberapa bulan lalu. Ia anak kiyai Harun, seorang ulama besar asal Jawa Timur yang juga memimpin pondok pesantren besar di Kediri. Satu tahun terakhir ini, kami cukup sering berkomunikasi. Aku banyak konsultasi dengannya tentang beberapa mata kuliah yang tidak aku mengerti. Gus Usman orangnya baik, tegas, pintar, ganteng, juga rajin beribadah.

Pernah suatu ketika ia memberi kinayah bahwasanya ia suka padaku. Tapi entah mengapa, ia tak pernah mengutarakan isi hatinya secara langsung. Pedahal, kalau boleh jujur, aku pun menyukainya. Dan aku tidak mungkin menolak jika ia benar-benar mengutarakan niat baiknya.

Sebagai wanita, aku hanya bisa menunggu. Aku tidak mungkin menentukan pilihan jika Gus Usman sendiri belum memilihku. Wanita pada dasarnya hanya bisa menunggu untuk dipilih. Wanita sulit untuk menentukan apapun apabila ia belum dipilih. Maka, kuharap Gus Usman memilihku. Dan kuharap ia segera menyatakan perasaannya agar aku bisa menentukan pilihan.

Ah! Aku malu kalau harus jujur-jujuran mengenai perasaanku pada Gus Usman.

Sifa, Dina, Lia! Aku jadi kangen kalian. Aku ingin curhat lagi dengan kalian. Semenjak pulang ke Indonesia dan liburan di rumah, aku belum menghubungi kalian. Aku ingin bertemu kalian! Aku ingin ngobrol lagi dengan kalian! Kangen nyeblak bareng, kangen metis bareng, kangen belajar bareng. Ya, kangen!
***

PART 4
Pagi ini cuaca nampak cerah. Aku, Bunda, Bapak, Teh Ani dan Kang Yadi, kita semua sarapan bersama di atas tikar sambil menghadap ke arah taman yang letaknya berada di depan rumah. Menu sarapannya masakan padang buatanku. Pedahal aku sendiri bukan orang padang. Tapi anggap saja demikian.

Di sela-sela lahapnya menyantap sarapan, Bunda protes, katanya sambel terasinya terlalu asin. Aku lantas menjadi bahan ledekan oleh Bunda. Kebelet nikah katanya. Dan Bapak pun nampak senyam-senyum. Aku jadi malu. Nikah apaan? Bunda jahat!

“Bunda diajarin siapa tahu mitos seperti itu? Bunda kan orang Jepang. Emang di Jepang kalau makanan asin pertanda ingin menikah gitu?” tanyaku.

“Ada deh,” jawab Bunda.

“Ih Bunda nyebelin,” ujarku manja.

Sejenak aku tertegun. Pikiranku menerawang pada kemungkinan, ya, bisa jadi apa yang Bunda katakan itu benar. Mungkin aku ingin menikah. Tapi kurasa tidak ada kaitannya dengan rasa asin pada sambal cabai yang Bunda makan.

Sebenarnya menikah itu seperti apa? Aku bingung sendiri.

Aku pernah mendengar curhatan dari Siti Hajar, salah satu teman kuliahku yang berasal dari Malaysia. Katanya, di awal-awal pernikahan, kita akan merasakan rasa aneh yang tiada tara serta rasa canggung yang tidak biasa. Akan ada perubahan yang begitu mencolok dalam pola keseharian kita. Bukan hanya dalam aktifitas, tapi juga dalam masalah ranjang. Saat kita hendak tidur, kita akan merasakan rasa was-was yang begitu dalam. Tempat tidur akan terasa aneh dan sangsi tat kala kita harus bersandingan di atasnya dengan sosok yang masih “asing”.

"Ayumi, nanti kamu jemput Keisuke ya!" kata Bapak tiba-tiba.

"Hah?" kataku.

"Iya, nanti kamu harus jemput Keisuke ke Sindangkerta"

"Kenapa mesti Ayu, Pak?" tanyaku menyusul ucapan Bapak, "Ayu gak tahu lokasinya," kataku.

"Mumpung kamu lagi di rumah, Ayumi. Kamu harus banyak silaturahmi," kata Bapak dengan nada lembut, "Nanti biar Teh Ani dan Kang Yadi ikut mengantar. Di sana, kamu akan bertemu dengan Kang Zainu. Dia orang yang sangat baik, pintar, santun dan ramah," kata Bapak membujukku.

Akhirnya, meski aku berusaha mencari-cari alasan, ujung-ujungnya aku tidak bisa menolak perintah Bapak. Aku setuju untuk menjemput Keisuke ke Sindangkerta.

Meski sebenarnya banyak hal yang membuatku ragu. Diantaranya adalah tentang sosok Spiderman. Aku menduga bahwa Kang Zainu yang dimaksud oleh Bapak adalah sosok Spiderman yang beberapa kali pernah menleponku. Sebab, nomor telepon Kang Zainu sama persis dengan nomor Spiderman. Jika benar, apa Bapak tidak salah bicara dengan menggambarkan Kang Zainu itu sebagai sosok yang baik, pintar dan santun? Pemikiranku justru bertolak belakang.

***

Saat ini aku sedang bergegas untuk siap-siap pergi ke Sindangkerta. Tapi, rasanya ada sesuatu yang masih mengganjal. Kurasa aku harus menghubungi Keisuke terlebih dahulu. Aku ingin memastikan kesiapan Keisuke di sana.

Ya, aku inisiatif untuk melakukan panggilan ke nomor Sipderman yang memang masih tersimpan dalam riwayat panggilan hapeku.

"Halo, assalamu’alaikum," kataku memulai pembicaraan.

"Alaikum-cayang," kata seseorang dengan suara geje. Ya, itu Spiderman.

"Ih nyebelin," kataku.

"Haha biarin! Ada perlu apa, Ayumi?"

"Keisuke, adikku, ada?" kataku langsung menanyakan Keisuke.

"Oh, Keisuke. Ada," katanya, "Nih lagi main playstasion," lanjutnya.

"Mana?"

"Nih!" katanya.

Kemudian terdengar suara Keisuke yang sedikit membuat mukaku menjadi agak merah padam.

"Cie.. cie.. ehem.. ehemm.. Teleponan nie.. Singsuing.." katanya seperti sedang ngomporin.

"Akei Chan, iiiiiiiihhh.." kataku agak gereget. Kemudian hapeku aku benamkan sejenak di bawah bantal. Bikin malu!

Beberapa saat kemudian, aku tempelkan lagi hapenya di telinga.

"Halo? Halo?" terdengar suara Spiderman lagi.

"Iya, halo!" kataku.

"Kirain sudah mati!" katanya.

"Siapa?"

"Kamu, hehe"

***

"Oh, iya. sekarang aku akan ke sana. Mau menjeput Keisuke," kataku.

"Aihh! jangan!" katanya sewot.

"Kenapa?"

"Aku malu. Rumahku jelek, Ayumi. Sejelek hidung kamu."

"Yee, hidung aku mancung!"

"Yawdah, sejelek hidung aku," katanya.

"Setuju! Deal!" kataku.

"Sip! Jadi kamu gak usah kesini ya!"

"Ih? Kok gitu?"

"Soalnya di rumahku banyak monster luar angkasa."

"Bohong!"

"Di rumahku banyak dinosaurus yang suka makan anak perempuan."

"Bohong!"

"Di rumahku lagi ada tawuran mahasiswa."

"Bohong!"

"Di rumahku ada pintu dan gentengnya."

"Bohh? Ihh! Aku pengen kesana!" kataku dengan nada yang agak maksa.

"Jangan!"

"Hiks!" Gak tahu kenapa, tiba-tiba aku ingin nangis. Aku merasa dipermainkan. "Bundaaaaa!" kataku spontan merengek memanggil Bunda.

Tak lama Bunda datang. Aku segera memeluk Bunda. Bunda nampak kaget. Lantas Bunda memanggil Bapak. Bapak pun datang sambil terlihat keheranan.

"Kenapa?" Bunda naya sambil mengelus-elus rambut dan pundaku yang belum mengenakan kerudung.

"Nyebelin, Bunda."

"Siapa?" kata Bunda.

"Gak tahu," kataku.

"Marahan sama pacar ya?" Bapak menimpa obrolan.

"Ih! Bapak nyebelin juga, Bunda," kataku merengek lagi ke Bunda.

"Haha.." Bunda dan Bapak tertawa. Aku jadi malu.

Aku tidak mau cerita tentang masalah teleponku barusan. Lagi pula, alasanku merengek memang tidak masuk akal. Itu hanya spontan belaka.

Beberapa saat kemudian aku meminta Bapak untuk menelepon Kang Zainu. Biar Bapak yang bicara langsung dengan Kang Zainu dan Keisuke untuk memastikan, bahwa hari ini aku benar-benar akan ke sana menjemput Keisuke.

"Kenapa mesti di telepon?" kata Bapak.

"Harus!" kataku.

"Iya, kenapa?" tanya Bapak lagi.

"Takut tidak diperbolehkan menjemput," kataku

"Oh.. Tadi pagi kan Bapak sudah nelepon sama mereka. Keisukenya sendiri yang minta dijemput. Dan Kang Zainu pun sudah mempersilahkan. Malah, kita sekeluarga dimintanya untuk sekalian datang ke rumahnya," kata Bapak menjelaskan. "Tapi, hari ini kan Bapak lagi sibuk. Harus ngeladenin mahasiswa yang mau bimbingan skripsi dulu. Bunda juga, mesti ke RS hari ini. Makanya kamu, Teh Ani, dan Kang Yadi yang pergi kesana," kata Bapak lagi.

Aku pun terdiam. Rasanya gendok sekali mukaku ini. Menyesal tadi aku menghubungi mereka.
***

PART 5
Sekarang aku sedang berdandan. Siap-siap mau berangkat ke Sindangkerta. Bergaya di depan cermin sambil memastikan bahwa hidungku benar-benar mancung. Perempuan memang sudah biasa dandan. Tidak wajib. Tapi perempuan memang biasa dandan. Dalam sehari, selalu ada waktu untuk sekedar polas-poles atau merapihkan sesuatu. Entah hobi atau apa. Maklumi.

Kerudungku saat ini warnanya merah muda. Atau mungkin cenderung ungu. Dengan baju terusan yang agak panjang ditambah rok yang sedikit menyapu, nampak cantik. Alhamdulillah. Sepertinya aku memang anaknya Bapak dan Bunda. Anak gadis keturunan Sunda dan Jepang.

***

Saat ini, aku sedang berangkat menuju Sindangkerta untuk menjemput Keisuke. Di mobil hanya ada Aku, Teh Ani dan Kang Yadi. Seperti biasa, Kang Yadi yang membawa mobilnya. Ia memang sering mengemban tugas mengemudi . Gaya mengemudinya apik. Tapi kadang suka kalap kalau di jalan lurus.

Tentang Sindangkerta. Sindangkerta adalah sebuah daerah yang berada di wilayah Kabupaten Bandung Barat. Mungkin jaraknya sekitar dua jam perjalanan dari rumahku di Cimahi. Kalau melihat rutenya, dari Cimahi kami melalui daerah Cimareme, Batujajar, Cihampelas, Cililin, kemudian barulah sampai di Sindangkerta. Semua nama-nama tersebut adalah tempat-tempat yang ada di wilayah kabupaten Bandung Barat.

Cimahi dan Bandung Barat merupakan dua wilayah yang masih termasuk zona Bandung Raya. Keduanya adalah daerah pemekaran dari Kabupaten Bandung. Jadi, setahuku di Bandung itu sebelumnya ada yang namanya wilayah Kota Bandung, ada pula wilayah Kabupaten Bandung. Nah, wilayah Kabupaten Bandung ini memiliki luas yang sangat besar daripada Kota Bandung. Oleh karena saking luasnya, Kabupaten Bandung pun akhirnya dipecah kembali. Hingga ada yang namanya Kota Cimahi dan ada pula Kabupaten Bandung Barat. Sehingga berbicara Bandung memungkinkan untuk tertuju ke empat wilayah. Yaitu Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat.

***

Tanpa terasa, mobil yang melaju kini telah sampai di Sindangkerta. Ternyata untuk menuju ke rumah Kang Zainu kami harus masuk lagi ke daerah perkampungan yang jalanannya cukup sempit, terjal dan banyak lubang-lubangnya. Jalannya tergolong jalan pedesaan yang kurang terurus. Hinga kami hanya bisa merayap pelan menyusurinya. Apalagi mobil yang kami bawa adalah mobil kota yang tingginya ceper.

***

Setelah beberapa waktu kemudian, akhirnya kami sampai di sebuah daerah yang cukup asri. Seperti sebuah komplek pesantren. Kata Kang Yadi, rumah Kang Zainu memang di sini, di pesantren. Ayahnya adalah seorang kiyai.

Kang Yadi sendiri sudah mengenal Kang Zainu cukup lama. Ia sering mengantarkan Keisuke ke rumahnya Kang Zainu. Sehingga Kang Yadi sudah tidak asing dengan sosok Kang Zainu.

Aku keluar dari mobil, lantas berdiri sejenak di dekat pohon jambu. Agak menjauh dari Teh Ani dan Kang Yadi. Soalnya aku tidak tahan ingin buang angin.

Kuperhatikan suasananya. Nampak sederhana tapi tertata. Terlihat bangunan-bangunan pondok yang terbuat semi permanen. Di sekitarnya ada madrasah, masjid dan beberapa bangunan lain yang nampak khas ala pesantren di pedesaan. Teduh dan adem.

"Asik! aya awewe geulis euy!"[1]

Tiba-tiba kudengar suara seseorang berteriak. Dan saat kutelusuri arah suaranya ternyata berasal dari bangunan pondok yang berada di sebelah samping tempatku berdiri.

"Halawa barudak! Halawa!"[2]

Ya, kudengar lagi teriakan-teriakan seperti itu. Aku sedikit melirik ke arah suara. Tak berapa lama, teriakan-teriakan itu kemudian semakin ramai. Dan memancing banyak orang bermunculan melihat ke arahku dari jendela-jendela pondok.

"Suit suwittt..!"

"Haha!"

"Prikitiwww!"

"Kerudung pink! Abdi bogoh!" [3]

Terlihat kepala-kepala manusia mulai semakin bermunculan dari jendela-jendela yang berbaris di sepanjang tembok. Mereka semua seperti penasaran ingin melihatku. Mereka memperhatikanku.

Entah bagaimana mulanya. Seketika alunan shalawat badar pun mereka kumandangkan diiringi tabuhan-tabuhan kentongan liar alakadarnya. Aku malu. Ya, aku semakin malu. Kok riweuh gini?

Wajahku mungkin berwarna merah sekarang. Hawanya panas sekali. Tidak tahu kenapa mataku mendadak berlinang air mata. Mungkin aku nangis. Begitu saja mengalir di luar kendali.

Selang beberapa saat seorang ibu tua datang dari sebuah rumah kecil sederhana yang tak jauh dari posisi di mana aku berdiri. Seketika itu pula, kegaduhan para santri mendadak berhenti, berganti dengan suara pijakan-pijakan kaki berlari, berhamburan, kemudian menjadi hening. Barisan kepala yang memenuhi jendela-jendela pondok pun seketika nampak tiada. Mungkin kehadiran si ibu ini membuat mereka segan, sehingga semuanya lari sembunyi.

"Aleuhh punten, Neng! barudak di dieu mah sok kitu da, balangor, resep hareureuy," katanya sambil menghampiri kami. Artinya, duh maaf! anak-anak di sini memang suka begitu, pada nakal, suka becanda.

Kulihat, ia nampak berusaha menenangkan kami, lantas tersenyum dengan diiringi raut muka yang sejuk. Ia bersalaman dengan Kang Yadi dan Teh Ani. Kemudian saling bertegur sapa. Sepertinya mereka memang sudah saling kenal.

Kemudian Ibu itu menghampiri ke arahku yang masih berdiri di dekat pohon jambu.

"Kenapa Neng Geulis? Kok pucat?" katanya sambil kemudian memegang tanganku. Dan satu tangannya yang lain merangkul pundakku. Ia nampak ramah. Menyambutku seolah tidak ada sekat sama sekali.

Aku masih terdiam. Terasa shock dengan fenomena barusan. Aku bingung. Sulit untuk mengungkapkan kekagetan yang aku alami barusan.

"Gak apa-apa kok, Umi. Si Eneng cuma agak kaget mungkin," kata Kang Yadi.

"Iya,” kata Teh Ani yang kemudian menghampiri dan menyeka pipiku.

"Anak-anak di sini memang suka pada nakal, tapi cuma becanda kok," kata si ibu lagi sambil senyum padaku.

Kali ini aku membalas senyumannya. Aku ngerti, yang barusan memang hanya candaan. Dan memang sebagian santri di pesantren mana pun kadang suka ada saja yang suka usil. Setiap pesantren pasti punya kultur yang berbeda. Tergantung dari dinamika yang terbangun. Tidak selalu santrinya adem semua. Kadang, ada saja santri yang jail. Dan aku cukup mengerti itu.

"Neng! Ini tuh ibunya Kang Zainu," kata Kang Yadi seperti sedang berbisik padaku namun bisa terdengar oleh semua.

Aku senyum dengan sedikit menganggukan kepala.

"Nah, Umi! Ini Ayu, kakaknya Keisuke yang kuliah di Mesir itu," lanjut Kang Yadi berbicara kepada si ibu.

"Wah, cantiknya!" kata si ibu dengan ekspresi sumbringah. "Jadi ini perempuan tercantik sekelurahan yang biasa diceritakan Keisuke? Kalau Menurut Umi, sedunia ah!" katanya lagi.

"Makasih, Bu!" kataku sembari senyum.

"Jangan panggil ibu! Panggil saja ‘Umi’. Biar sama kayak yang lain," katanya.

Aku pun menganggukan kepala. Tak lama, Umi kemudian mengajak kami masuk ke dalam rumah. Di sana, kami duduk di atas sebuah karpet sambil berbincang-bincang. Kuperhatikan, Umi nampak baik dan ramah, wajahnya sejuk. Tutur katanya halus. Dan sangat terbuka menyambut kami. Cara komunikasinya sangat khas sebagaimana istri Kyai pada umumnya.

"Mmhh, sekarang Keisukenya di mana, Umi?" kata Teh Ani kepada Umi.

"Keisuke lagi di kebun belakang, bersama Kang Zainu. Mereka sedang membantu Abi memperbaiki kandang kambing," kata Umi.

"Wah? Sekarang Abi ngurus kambing ya, Umi?" kata Kang Yadi menimpal.

"Itu kambingnya Keisuke. Cuma, ia agak maksa minta dititipin sama Abi. Katanya, biar kelak kambingnya jadi sebesar kerbau Sumatra."

"Haha, ada-ada saja si Akei,” kata Kang Yadi.

Kemudian, Umi mengajakku untuk menemui mereka di kebun. Aku iyakan. Aku ingin sekali melihat kebun dan pesawahan. Sejak kecil, aku hidup di daerah perumahan. Di daerah yang bernuansa kota yang tidak ada sawah dan kebun. Sehingga kadang, melihat kebun dan pesawahan membuatku seolah mendapat nuansa baru yang lebih alami.

Tapi Kang Yadi dan Teh Ani malah enggan. Katanya, mereka ingin menunggu saja, tidak ikut ke kebun. Tak apa. Aku sudah terlanjur menyetujui ajakan Umi. Aku lantas beranjak mengikuti Umi.

Tapi tidak tahu kenapa, tiba-tiba aku merasa menjadi degdegan. Aku mendadak canggung. Entah apa. Kurasa bukan karena Umi. Apa mungkin karena sebentar lagi aku akan bertemu Spiderman? Orang aneh yang tadi pagi bilang kalau di rumahnya ada monster luar angkasa, terus ada dinosaurusnya, malah ada tawuran mahasiswanya. Entahlah, aku merasa paranoid.

"Umi!" kataku.

"Apa?" kata Umi.

"Umi kok baik dan ramah," kataku lagi.

"Lho? Kok tiba-tiba bilang gitu?" Tanya Umi sambil senyum walau sedikit mengerutkan dahi.

"Umi sangat baik, beda dengan Kang Zainu," kataku.

"Emh? Emang kenapa? Neng kenal sama si Aa?"

"Enggak sih. Cuma tahu aja. Soalnya Kang Zainu pernah beberapa kali nelpon Ayu. Tadi pun sebelum ke sini kita sempat teleponan.”

“Oh gitu.”

“Dia melarang Ayu datang ke sini, Umi. Dia bilang di rumah Umi ada monster luar angkasanya."

"Haha," Umi tertawa spontan. "Enggak ah, masa si Aa bilang gitu?"

"Iya Umi. Bahkan katanya, di rumah Umi ada dinosaurus dan ada tawuran mahasiswanya."

"Hehe, kabina-bina eta budak,"[4] kata Umi sambil menggelengkan kepala. Artinya, keterlauan. "Terus apalagi?" lanjut Umi.

"Waktu pertama nelpon, dia bilang, dia itu adalah Spiderman, Umi."

"Hah? Spiderman itu apa?" tanya Umi. Mungkin Umi tidak tahu Spiderman.

"Itu Umi, super hero, jagoan yang ada di film kartun yang suka pakai topeng merah, ada jaring laba-labanya."

"Oh iya-iya. Mungkin yang kaya tengkorak itu," kata Umi, "Dulu waktu masih sekolah, si aa memang suka ngoleksi mainan dan poster-poster seperti itu."
____________
[1] Asik! Ada perempuan cantik.
[2] Ada yang manis-manis, teman-teman!
[3] (Yang pakai) kerudung pink, aku suka kamu!
[4] Keterlaluan itu anak!
***

PART 6
Selang beberapa saat, aku dan Umi sampai di sebuah lokasi yang dipenuhi dengan tanaman jagung dan beberapa pepohonan rindang. Kulihat dari kejauhan, Keisuke nampak sedang duduk di atas batu besar bersama seorang Bapak tua, mungkin itu Abi.

"Abi! Keisuke! Ada tamu!" kata Umi setengah berteriak.

Kemudian mereka melihat ke arah kami. Sedangkan kami masih terus berjalan menuju ke arah mereka.

"Eh ada tamu? Siapa, Umi? Kok dibawa ke kebun?" tanya Abi.

"Wah cantiknya! Mungkin si teteh ini pacarnya Aa Jendral, Abi!" kata Keisuke menimpal dengan muka datar seolah-olah ia tidak mengenaliku.

Aku mendadak tersentak mendengar ucapan Keisuke. Membuat langkahku hampir tersandung. Membuatku mendadak salah tingkah.

"Hati-hati!" kata Umi sambil memegang lenganku.

Aku kemudian menghampiri Abi dan bersalaman dengannya.

"Saya Ayumi, Abi. Kakaknya Keisuke," kataku.

"Oh. Iya.. Iya.. Pantesan dari tadi Keisuke cerita, katanya, hari ini ia mau dijemput pulang oleh hurrun ‘ein,[1]” ujar Abi.

Aku senyum sejenak, lantas mendekati Keisuke dan mencubit pipinya. Kemudian kami pun mengobrol untuk berberapa saat. Aku menanyakan kabarnya serta memastikan bahwa kondisinya baik-baik saja. Aku pun sempat memarahinya karena telah membuat seisi rumah khawatir akibat ulahnya yang pergi jauh tanpa izin yang jelas, bahkan tidak pulang ke rumah.

Kemudian, aku berbincang dengan Abi dan Umi, tentang perilaku Keisuke. Aku takut selama ia berada di sini, ia banyak merepotkan. Tapi nampaknya Abi dan Umi tidak terlihat keberatan, malah nampak senang dengan adanya Keisuke.

Di sela-sela perbincangan, aku sempat memperhatikan Abi. Menurutku ia adalah sosok yang sangat baik, ramah dan juga perhatian. Sesekali aku melihat Abi membersihkan baju Keisuke yang nampak kotor. Ia cukup perhatian terhadap adikku itu. Bisa jadi orang yang tidak tahu hubungan keduanya mungkin akan mengira bahwa keduanya itu adalah ayah dan anak.

"Abi!" kata Keisuke.

"Apa?" kata Abi.

"Akei mau bawa teteh ke sana dulu," kata Keisuke sambil menunjuk sebuah gubuk, atau seperti kandang kambing.

"Oh, iya sok!" kata Abi, "Tapi Abi dan Umi mau segera ke rumah, mau bersih-bersih. Gak apa-apa kan?" tanya Abi.

"Iya, gak apa-apa," kata Keisuke.

Kemudian Abi dan Umi beranjak menuju rumah. Mereka saling bergandengan tangan. Terlihat romantis untuk pasangan yang usianya sudah tidak lagi muda.

"Nah, sekarang kita mau kemana, Kei?" tanyaku.

"Ke sana! Teteh harus lihat kambing-kambing punya Akei."

"Emang Akei punya?"

"Iya dong, sudah dua ekor," katanya.

Beberapa saat kemudian, kami sampai di sebuah kandang kambing. Di dekatnya, kulihat ada seorang pemuda memakai kaos berwarna putih, bersarung, dan memakai peci berwarna hitam. Ia nampak sedang serius memotong batangan bambu sambil menduduki batangan yang bambu lain.

“Jendral!” Kata Keisuke memanggil orang tersebut.

Dari panggilan Keisuke, aku lantas mengerti, orang itu mungkin Kang Zainu, si spiderman. Tidak salah lagi. Kalau pun bukan? Pasti pilihan lainnya adalah batman, tidak lebih. Tapi masalahnya bukan di situ. Saat ini aku mendadak canggung. Aku merasa tidak nyaman harus bertemu seseorang yang sempat membuatku ilfeel lewat telpon.

Aku sempatkan untuk memegang hidungku. Aku ingin memastikan bahwa hidungku masih tetap mancung. Bahkan, tidak tahu kenapa aku jadi ingin merapikan kerudungku. Sambil sesekali mengatur nafas biar rasa canggungku hilang.

Aku jadi teringat sesuatu, di tasku. Ya, di tasku ada sebuah cermin kecil yang biasa aku pakai untuk bedakan. Aku ingin mengambilnya! Tapi, ah, sepertnya tidak akan sempat. Aku ingin bercermin.

“Ada apa Kei?” tanya Kang Zainu santai. Namun ia sambil terus memotong batangan bambu dengan golok yang ada di tangannya. Ia tidak melihat ke arah kami. Sepertinya ia belum menyadari akan kedatanganku.

“Assalamualaikum!” kataku memberanikan diri mengucap salam terlebih dahulu. Mendadak, ia nampak berhenti membelah bambu setelah mendengar suaraku. Dan seketika itu pula ia menoleh ke arahku.

Cessssss! Entah apa, saat tatapan mata kami bertemu, tiba-tiba aku merinding. Seperti ada kipas angin yang berhembus di sekujur tubuhku. Jantungku bergemuruh bagaikan rentetan tembakan senjata yang sedang kalap. Pandangan ini, ah.

Tidak salah lagi. Kang Zainu adalah orang yang aku temui saat hendak menjemput Keisuke di pesantren. Dia orang yang kukira mengenalku, namun ternyata hanya menebak namaku karena di tasku memang tertulis nama Ayumi Nur Aziza.

“Kang Zainu ya?” kataku sambil berusaha mengeluarkan sebuah senyuman dari bibir tipisku.

“Wa’alaikum-” ia nampak bengong “-salaam!” ujarnya dengan ucapan yang agak terputus.

“Kang Zainu?” kataku lagi mengulang pertanyaan.

“Iya,” katanya singkat.

Ia terlihat salah tingkah. Mungkin karena kepergok sedang bekerja sambil duduk-duduk di dekat kandang kambing. Kulihat ia nampak serbasalah. Tangan kanannya masih memegang golok, sedangkan tangan kirinya lantas sibuk merapikan peci yang ada di atas kepalanya. Bahunya, lantas ia gesekan ke bagian leher dan dagu untuk memupus keringat yang memang nampak bercucuran.

Aku diam, dia pun diam. Aku bingung, harus bicara apa lagi sekarang. Dihadapkan dengan seseorang yang dalam imajinasiku memiliki citra yang tidak terlalu baik.

Entahlah. Entah apa yang salah hingga membuatku merasa kaku. Pedahal, ini hanya pertemuan biasa. Sebelumnya, bukankah aku pun pernah bertemu dengannya di pesantren itu? Dan semua biasa-biasa saja. Lantas kenapa kini menjadi agak canggung.

“Kapaaaaal!! Minta duiiiit!!” teriak Keisuke tiba-tiba sambil menatap ke arah langit. Terasa mengagetkan, dan malah membuat suasana menjadi lebih aneh. Pedahal, di langit tidak ada satu pesawat terbang pun yang melintas.

Aku jadi canggung, semakin bingung. Tapi kurasa Kang Zainu pun merasakan hal yang sama sepertiku.

“Teh, ini namanya Aa Jendral,” kata Keisuke kepadaku.

Kang Zainu lantas menganggukkan kepala sambil tersenyum padaku, “Nepangkeun, ana Zainu, asy’uru farhan syadidan ala liqoina hadza,[2]” katanya.

“Ana Ayumi. Allohu yubaarik lana,” kataku.

“Aiwa.. Roaitu ismaki fil haqiibah. Allohu yubaarik lana.”

“Aa Jendral!” kata Keisuke kemudian menyeru Kang Zainu, “Bukankah katanya kalau bertemu dengan tetehku bakal nyanyi ‘you are beautiful.. beautiful.. kamu cantik, cantik, dari hatimu’, mana?” kata Keisuke sambil menyanyikan lagu tersebut.

“Hehe,” aku tertawa geli. Spontan, tidak tahan melihat Keisuke menyanyikan lagu itu sambil menggerakkan badannya. Ala penonton bayaran yang suka nongkrong mengiringi acara musik di televisi.

“Toyyib! Laa ba sa! Sa af’alu dzalik,” kata Kang Zainu yang sudah nampak bisa mencairkan suasana. Artinya, baiklah! Tak masalah! Akan aku lakukan!.

“Tafaddlol! Haha,” kata Keisuke. Artinya, Silahkan!

Aku langsung mengatur nafas. Berusaha mengendalikan diri. Sebab aku mendadak panik. Imajinasiku langsung menerawang sesuatu yang akan nampak konyol. Aku takut Kang Zainu benar-benar melakukan itu. Aku takut ia akan terlihat lucu. Aku tidak ingin tertawa bahkan senyum sekali pun dengan apa yang akan dia lakukan. Aku harus menjaga citra sebagai seorang perempuan muslimah yang baik.

Aku adalah mahasiswi Al-Azhar. Aku adalah anak gadis dari seorang ayah yang berprofesi sebagai dosen, dari seorang ibu yang berprofesi sebagai dokter. Maka aku harus terlihat anggun dan baik. Setidaknya bukan karena aku ingin dipandang baik. Tapi memang seorang muslimah harus bisa menjaga akhlak dirinya dan menjaga martabat kedua orang tuanya.

Aku takut bila aku tertawa geli. Aku tidak mau terlibat dengan sesuatu yang akan terkesan konyol. Kurasa, yang dilakukan Keisuke barusan saja sudah cukup. Tidak perlu ditambah oleh orang dewasa seperti Kang Zainu.

“Ayumi!” kata Kang Zainu.

“Apa?” kataku mendadak dingin.

“Kamu tahu? Sekarang aku akan menyanyi?”

“Enggak.”

“Kamu mau aku menyanyi untukmu?”

“Mmmhh, terserah!” kataku. Meski sebenarnya aku tidak ingin dia bernyanyi. Aku takut.

Entah kenapa. Sejatinya aku tidak mengenal Kang Zainu. Dan tadi saat bertemu dengannya, aku memang merasa canggung. Namun sekarang, aku justru bersikap dingin. Bersikap seolah aku sudah mengenal Kang Zainu.

“Tapi, bolehkah aku berpuisi dulu?” tanyanya lagi.

“Terserah deh!” kataku.

“Oke! Puisi ini judulnya perahu cinta, dengarkan!” katanya.

Wahai safinah cinta
Desir hati ini telah kulayarkan dalam ombak-ombak asmara
Pasal cinta telah kubacakan dalam puisi jingga
Puisi yang akan mengantarkan kita dalam purnama
Selayaknya pandang membuat rupa
Mengalir menguasai hati
Selayaknya cinta tiada rupa
Sama mengalir menguasai hati
Siapa aku ini yang berbicara cinta
Sedangkan cintanya tiada
Siapa aku ini yang berperilaku jahat
Sedangkan cintanya jelas terpahat
Cinta itu adalah rahmat yang lazim dengan penghormatan


“Dibuat di sini, hari ini,” katanya.

Ketika Kang Zainu membacakan puisinya, jujur, aku tersipu. Aku suka dengan caranya membacakan puisi. Aku suka dengan puisinya. Namun aku tidak ingin terlalu meresponnya. Biar aku saja yang tahu.

Sebenarnya dulu waktu di Mesir, aku pun pernah dibacakan puisi oleh Gus Usman. Sebuah puisi romantis yang ia buatkan untuku. Puisi hadiah, sebuah puisi tanda terimakasih karena aku telah membantunya menyusunkan proposal untuk kegiatan seminar. Puisi yang bagus, dan aku sangat suka. Bahkan sampai saat ini, salinan puisinya masih aku simpan di catatan harianku. Judulnya Al-Wardatu Tu’iinunie, artinya, Sang Mawar yang menolongku. Puisi yang selalu memberi rasa semangat lebih. Ya, Gus Usman. Sedang apa dia sekarang? Lama kita tidak berjumpa.

“Ayumi!” kata Kang Zainu.

“Apa?” kataku.

“Kamu melamun?”

“Enggak!”

“Terus? Kok bengong?”

“Hmmh.”

“Aku mau ngasih kabar untukmu?”

“Apa?”

“Aku gak jadi nyanyi.”

“Kenapa?”

“Aku takut.”

“Takut apa?”

“Aku takut malu.”

“Hanya manusia saja yang punya rasa malu, Kang,” kataku bercanda.

“Terus? Aku bukan manusia? Gitu?”

“Kan Akang itu Spiderman, laba-laba,” kataku.

“Tapi, laba-laba juga punya malu.”

“Iya gitu?”

“Iya. Kan laba-laba punya kemaluan.”

“Ih! Apaan sih?”
___________
[1] Bidadari surga
[2] Kenalkan, aku Zainu. Senang sekali kita bisa bertemu
***

PART 7
Aku sempatkan untuk melihat kambing-kambing yang terpenjara di kandang. Kambing-kambing yang kata Keisuke kelak akan tumbuh sebesar kerbau Sumatra. Tapi itu hanya sekedar khayalan Keisuke. Kalau prediksiku, semua kambing ini akan tumbuh menjadi kambing biasa. Besarnya paling seukuran domba garut. Tidak akan lebih.

Jumlah kambingnya ada enam. Katanya, dua milik Keisuke dan empat sisanya punya Abi. Kambing milik Keisuke masih kecil, belum dewasa, masih nampak lucu-lucu.

Entah kenapa, aku punya inisiatif untuk memberi nama bagi kedua kambing milik Keisuke itu. Kuberi nama Wibowo dan Anggun. Nama yang pas untuk menggambarkan sosok jantan dan betina.

“Gimana? Setuju?” kataku pada Keisuke.

“Gak mau ah! Terlalu standar,” kata Keisuke.

“Udah ih! Bagus itu,” kataku.

“Enggak mau,” kata Keisuke lagi. “Gimana kalau namanya Anang Hermansyah dan Agnes Monica? Gimana?” katanya.

“Jangan! Itu nama artis.”

“Tapi aku suka nama itu.”

“Jangan!” kataku sambil melotot.

“Hehe. Iya deh,” katanya.

Kulihat Kang Zainu hanya diam. Ia tidak berkomentar apapun kecuali guratan-guratan senyum yang nampak dari ekspresi wajahnya. Ia nampak khusyu memperhatikan aku dan Keisuke yang tiada henti melempar kata. Aku memang agak bawel pada Keisuke.

“Teh!” kata Keisuke lagi tiba-tiba.

“Apa?” kataku.

“Akei mau ke toilet dulu, boleh kan?” ujarnya mendadak minta ijin. “Teteh tunggu disini!” katanya lagi sambil kemudian pergi sebelum aku sempat menjawab apapun.

Alhasil, aku menjadi sangat bingung. Sekarang, hanya aku dan Kang Zainu di sini. Berdua saja. Kami hanya ditemani kambing-kambing yang sedang asik mengunyah rerumputan di kandang.

Lama kelamaan, aku bingung. Bagaimana ini? Kulihat Kang Zainu nampak diam. Mungkin ia merasakan ketidak nyamanan seperti apa yang aku rasakan saat ini. Kita hanya berdua. Di kebun. Di tengah suasana sepi. Jelas tidak baik dan sangat tidak nyaman.

Aku bingung, harus bagaimana. Akhirnya sesekali aku bertingkah seolah-olah sedang memperhatikan kambing-kambing yang sedang asik makan. Sedikit mondar mandiri tidak jelas. Atau melihat kuku-kuku jari tanganku yang nampak indah terawat karena sering pergi ke salon. Sesekali aku bergumam, mengeluarkan berbagai irama dari mulutku seperti sedang menyanyikan sebuah lagu. Berusaha mengulur waktu sambil menunggu Keisuke kembali.

“Ehemm!” terdengar suara Kang Zainu.

Aku lantas melirik ke arahnya. Memastikan Kang Zainu tidak bergumam padaku.

Duh! Keisuke lama sekali. Pedahal dia pergi sudah cukup lama. Kalau sekedar pipis ke toilet rasanya tidak akan selama ini. Membuatku kesal. Apalagi dengan suasana seperti ini. Suasana dimana hanya ada aku dan Kang Zainu.

Tidak ada satu obrolan pun yang keluar dari mulut kami. Sungguh kurasakan suasana yang sangat tidak nyaman.

Ya, aku adalah seorang perempuan. Tentunya aku merasa sangat tidak nyaman dengan kondisi seperti ini. Kondisi dimana aku hanya berdua bersama seorang lelaki yang belum aku kenal, di kebun, dan di dekat kandang kambing yang menyerupai gubuk.

Aku takut, pemikiranku menjadi paranoid. Tiba-tiba saja jantungku kini berdetak lebih kencang. Tapi aku harus bagaimana? Bunda! Aku takut. Allohumma aatinii salaamah. Dan kuharap Kang Zainu bukan orang yang jahat Mudah-mudahan.

Aku bingung. Apa yang mesti aku lakukan? Apakah aku harus membuka obrolan terlebih dahulu untuk mencairkan suasana? Atau cukup menunggu Kang Zainu yang memulainya? Musykil.

“Hari ini cuacanya agak mendung ya?” kataku memberanikan diri membuka obrolan.

“Siapa?” katanya.

“Cuacanya,” kataku.

“Maksudnya, siapa yang nanya sama kamu?” katanya dengan muka datar.

“Ihhhhhhh!” kataku dengan ekspresi agak cemberut. Gendok sekali rasanya. Menyesal barusan membuka obrolan terlebih dahulu.

Sungguh aku menjadi ilpil. Siapa pun pasti tidak enak ditanggapi demikian. Apalagi di tengah suasana yang tidak nyaman seperti ini. Membuatku sakit hati. Aku ingin nangis. Aku memang memang manja. Aku tidak biasa diperlakukan seperti ini.

“Kenapa cemberut?” katanya dengan muka yang masih sangat datar ditambah suara yang agak sinis.

“Ih kok gitu!” kataku.

“Biarin! Emang kenapa?” katanya sambil melihat ke arahku dengan tatapan yang agak menyorot tajam.

“Kamu jahat ya?” aku nanya.

“Iya,” katanya.

Entah kenapa aku menjadi semakin degdegan. Aku sangat takut sekali. Orang ini bicaranya agak tinggi.

“Beneran?” Aku nanya dengan rasa gelisah. Aku tak mengerti kenapa aku tanya demikian.

“Iya,” katanya dengan suara yang digeramkan.

“Hiks!” Aku ingin nangis. Hawanya panas sekali. Jantungku berdebar kencang.

“Eh? kok nangis?” Tanyanya padaku. “Aku kan cuma bercanda, Ayumi,” katanya lagi.

“Siapa yang nangis?” kataku.

“Terus? Itu apa? Ada linangan air mata!” katanya.

“Enggak!” Kataku sembari mengusap kedua mataku. Dan kurasakan memang ada linangan air mata. NampSepertinya mataku tidak bisa berbohong.

“Kang!” kataku.

“Apa?” sahutnya.

“Tolonglah, jangan membuatku takut!” Kataku memohon padanya.

“Enggak. Barusan, aku cuma bercanda, Ayumi.”

“Hibur aku! Biar aku tidak takut.” Kataku dengan begitu saja.

“Iya. Maaf! Ayumi”

Kulihat ia diam. Ia nampak sedang berpikir.

“Ayumi!” katanya.

“Apa?”

“Aku mau bercerita, boleh?” katanya meminta persetujuan.

Aku tidak menjawab, tapi hanya menganggukkan kepala.

“Begini, kurasa kamu masih ingat saat pertama kali kita bertemu, di pesantren. Saat itu kamu mau menjemput Keisuke. Dan aku tahu, pada saat itu kamu sudah mencintaiku kan?”

“E?!” kataku mendadak sewot. “Belum!” kataku lagi.

“Hehe,” ia tersenyum. “Kok jawabannya belum? Kalau begitu, berarti sekarang kamu mencintaiku?” Ucapnya geli. Aneh.

“Ya belum! Aku tidak mencintaimu,” kataku dengan manyun.

“Hehe.”

Sebenarnya, aku merasa heran dengan Kang Zainu. Kok bisa-bisanya dia bilang begitu. Menyertakan cinta dalam ucapannya. Menyematkan rasa dalam perkataanya. Meskipun, aku sadar, semua yang ia ucapkan mungkin hanya candaan belaka. Tapi, sebagai seorang perempuan, aku merasa hal tersebut aneh. Malah membuat perasaanku campur aduk.

Aku tidak mengenal Kang Zainu. Aku tidak begitu tahu tentangnya. Kecuali Bapak dan Bunda memang pernah menceritakannya. Keduanya nampak kagum dengan Kang Zainu. Meski entah apa alasannya, aku tidak tahu. Mengapa Bapak dan Bunda begitu suka dengan seseorang yang dalam pandanganku hanya merupakan sosok lelaki, maaf, aneh.

“Ayumi!” Kang Zainu menyeruku lagi.

“Apa?” kataku.

“Saat itu, saat kamu datang ke pesantren, aku langsung mencari Keisuke agar kamu tidak lama menunggu. Tapi kamu tahu? Setelah aku bertemu dengan Keisuke, aku langsung diculik oleh siluman harimau. Jadi aku tidak sempat menemuimu lagi. Maaf!”

Aku diam mendengar ucpannya, tapi ketika pikiranku menerawang, tiba-tiba, aku tersendak mendadak ingin tertawa.

“Kenapa?” ia nanya dengan muka heran.

“Saat itu, di tangga, aku lihat kamu terpeleset. Terus sarung kamu tersingkap. Aku melihat...”

“Hussshhh! Kamu ngelihat?”

“Iya, hehe.”

“Haha.”

***

Setelah itu, aku mulai mengobrol banyak dengan Kang Zainu. Aku mulai terbiasa untuk berbicara dengannya. Aku ngobrol. Aku meladeninya. Meski alurnya memang sulit ditebak dan terkadang ada beberapa yang malah ngawur. Namun aku mulai terbiasa. Aku mulai bisa mengikuti iramanya.

Akhirnya, tanpa kusadari kita mulai terbuka. Kita saling bercerita tentang banyak hal. Aku mendengarkan cerita-ceritanya yang lucu. Dan kupikir dia memang lucu. Tidak seseram yang aku pikirkan. Meski aku belum percaya dengan apa yang ia ceritakan. Aku merasa tidak yakin dengan beberapa ceritanya.

Masa dia bilang, katanya dulu waktu di pesantren, ada salah satu temannya yang sedang sakit, mungkin sedang masuk angin. Dan kemudian, temannya itu meminta Kang Zainu untuk ngerokin badannya. Eh tahunya saat dikerokin, muncul tulisan “Coba lagi, lain kali pasti dapat!” Haha.

Atau saat dia bilang, dulu dia pernah mempunyai seorang teman yang memiliki kebiasaan aneh. Orang itu selalu alergi jika mendengar kata “Ayumi”.

“Wah? Benarkah?” tanyaku pura-pura heran.

“Iya,” katanya.

“Terus gimana?” aku nanya.

“Pokoknya, jika orang itu mendengar kalimat yang mengandung kata Ayumi, maka dia akan merasa alergi.”

“Ah masa? Gak mungkin!” kataku jadi pura-pura penasaran.

Entah kenapa aku jadi menikmati alurnya. Aku menjadi senantiasa meladeni setiap obrolan yang Kang Zainu utarakan.

“Beneran!” ujarnya dengan ekspresi seperti sedang meyakinkan, “Jika ada orang yang bilang ‘Ayumi jahat’, maka secara tiba-tiba dari hidungnya akan keluar goreng pisang.”

“Hahaha,” aku tertawa, “Terus?” tanyaku penasaran.

“Terus, jika ada orang yang bilang ‘Ayumi jelek’, maka secara tiba-tiba dari telinganya akan keluar seekor gajah.”

“Ah ngawur,” kataku.

“Nah, jika ada yang bilang ‘Ayumi cantik’, barulah dia akan mual muntah-muntah. Hahaha.”

“Ihhhh! Nyebelin,” Kataku dengan ekspresi kesal.

Tapi tidak apa, lah. Apapun yang dia katakan, benar atau bohong, aku menjadi suka. Semua yang ia ceritakan, entah kenapa aku jadi menikmatinya. Mungkin itu adalah bagian dari caranya untuk menghiburku. Dan ini berarti, ia telah memenuhi permintaanku untuk membuatku merasa terhibur.

Kini kami semakin akrab. Aku menjadi leluasa untuk mengobrol dengannya. Bercerita tentang kehidupanku, dulu, sekarang, dan harapan-harapanku di masa yang akan datang. Bercerita tentang Al-Azhar, Mesir, serta sekelumit kebahagiaan dan permasalahan yang aku temui di dalamnya. Bercerita tentang Bapak, Bunda, Keisuke, dan tentunya bercerita tentang semua hal yang bisa aku ceritakan.
***

PART 8
Langit nampak kurang bersahabat. Gerimis mulai turun bertabur. Bahkan entah mengapa malah mendadak deras. Lantas, Aku dan Kang Zainu segera bergegas untuk kembali menuju rumah. Sebelumnya, kami sempat merapikan terlebih dahulu beberapa batang bambu yang berserakan di tanah. Bambu-bambu yang tadi sudah dipotong oleh Kang Zainu.

Setelah itu kami segera berjalan menuju rumah. Tentunya dengan agak tergesa-gesa. Aku sendiri melindungi bagian kepalaku dengan selembar daun pisang yang telah disediakan oleh Kang Zainu. Sedangkan Kang Zainu, ia tidak menggunakan apapun untuk melindungi tubuhnya dari guyuran hujan. Daun pisangnya habis, cuma ada satu.

Sesampainya di teras rumah, aku berpisah dengan Kang Zainu. Katanya ia mau langsung menuju kamar mandi yang ada di pondok putra. Kulihat ia berlalu menerobos hujan dengan langkah agak berlari. Dan Sepertinya ia hendak terpeleset, namun tidak jadi. Syukurlah.

Aku masuk ke dalam rumah. Di sana nampak ada Abi, Umi, Teh Ani dan Kang Yadi. Serta ada Keisuke pula. Mereka semua terlihat sedang asik mengobrol. Kecuali Keisuke, ia sedang tidur di samping Umi. Pantas jika tadi aku menunggunya cukup lama. Ternyata dia tidur pulas.

Keisuke, selalu saja bikin masalah. Tapi tak apalah. Toh, ada hikmah yang aku dapatkan sekarang. Aku menjadi cukup dekat dengan Kang Zainu. Menjadi semakin akrab dengannya. Menjadi banyak tahu tentangnya. Tentang orang yang pernah meneleponku dengan cara yang tidak jelas.

***

Sekarang, pakaianku agak sedikit basah. Tapi hanya bawahannya saja. Mungkin karena terkena cipratan air. Tak apa, tak masalah. Toh, aku membawa sarung batik yang bisa aku pakai untuk menggantikan rok panjangku yang basah ini.

“Dari mana? Kok lama?” tanya Teh Ani.

“Itu, dari kandang kambing,” kataku.

“Ngapain?”

“Habis lihat-lihat kambing. Sambil ngobrol-ngobrol dengan Kang Zainu.”

“Neng suka?”

“Mmmh, gimana ya?” kataku seperti sedang bertanya pada diriku sendiri, “Iya suka. Kang Zainu orangnya baik, enak kalau diajak ngobrol. Pokoknya asik lah!” kataku sambil kemudian tersenyum.

“Hehe. Maksud Teteh bukan Kang Zainu. Neng suka lihat-lihat kambingnya?”

“Oh?! Kirain..” kataku agak malu “Iya. Itu juga suka kok,” lanjutku menerka.

Kulihat semua jadi nampak tersenyum mesem melihatku. Aku jadi malu. Bahkan agak sedikit salah tingkah. Aku kira Teh Ani barusan bertanya tentang kang Zainu padaku. Ternyata bukan. Pertanyaan Teh Ani memang kurang jelas. Membuatku salah tafsir. Tapi tak apa. Mudah-mudahan rasa malunya segera hilang.

Setelah berbincang-bincang beberapa saat, aku lantas mendekati Umi.

“Umi! Aku mau shalat dzuhur,” kataku kepada Umi.

“Iya, Umi juga mau shalat dzuhur. Kita berjamaah di mushola, dengan santriah,” kata Umi.

Setelah itu, kami bergegas untuk melaksanakan shalat dzuhur. Umi mengajak aku dan Teh Ani menuju mushola yang memang disediakan khusus bagi para santri putri. Letaknya tak jauh dari rumah. Hanya terhalang oleh satu bangunan pondok.

Nampak di mushola sudah banyak orang berkumpul. Semuanya menunggu Umi untuk melaksanakan shalat berjamaah. Tapi Umi malah menyuruhku untuk menjadi imam. Sebenarnya aku enggan untuk menjadi imam. Aku merasa tidak enak.

Umi terus membujukku. Katanya, imam shalat berjamaah di sini memang sering bergiliran, kadang Umi, kadang juga santri-santri putri yang sudah dewasa. Dan sekarang, Umi memintaku menjadi imam. Apalagi statusku adalah mahasiswi Al-Azhar yang katanya sudah pasti baik dalam bacaan Al-Qur’an.

Baiklah, aku iyakan. Ngalap barokah.

Selepas shalat, kami membacakan dzikir bersama. Dilanjutkan dengan tadarrus Al-Qur’an. Semua ini adalah sesuatu yang baik untuk dilakukan. Aku merasa senang dengan suasana seperti ini. Suasana di mana banyak orang yang dzikir dan melafalkan ayat suci Al-Qur’an secara berjamaah. Suasana yang sering aku rasakan ketika mondok di pesantren dulu. Suasana yang jarang aku temui di tempat-tempat biasa.

Waktu sudah berjalan beberapa saat. Dan nampaknya aku tidak bisa berlama-lama di sini. Waktu sudah cukup mepet. Aku harus segera pulang ke Cimahi agar nanti tidak terlalu sore datang ke rumah.

Aku akhiri pengajian singkatku bersama para santri putri di sana. Lantas aku bergegas keluar bersama Teh Ani, disusul Umi.

Sebelum pulang ke rumah, aku sempatkan untuk mencicipi makanan terlebih dahulu. Menyantap hidangan yang telah disediakan oleh Abi dan Umi. Nikmat rasanya menyantap makanan bersama Keisuke, Kang Yadi dan Teh Ani. Tentunya ditemani Abi dan Umi.

Kami nampak lahap dengan semua makanan yang dihidangkan. Pedahal jika aku harus membandingkan, semua menu yang disediakan Umi terbilang sederhana. Tidak serumit masakan yang biasa disajikan di rumah. Di sini hanya ada menu ikan asin, tahu, tempe, semur jengkol, sambel goang, peteuy, tumis iwung dan sayur kacang merah. Tapi kami sangat suka. Bahkan aku sampai beberapa kali nambah.

Aku merasa nyaman di sini. Seperti sedang berada di rumah sendiri. Tidak ada kecanggungan. Semua terasa lepas dan mengalir dengan leluasa. Aku merasa betah, bahkan lebih betah dari pada di rumahku sendiri. Di rumah kadang suasananya sepi. Di sini rame. Banyak santri dan santriah yang beraktifitas.

***

Saat ini, sebenarnya aku ingin bertanya pada Abi dan Umi. Kang Zainu dimana? Aku tidak melihatnya setelah pulang dari kebun tadi. Tapi aku malu menanyakannya. Takut disangka.. Semacam.. Ya..

***

Waktu sudah menunjukan pukul setengah tiga. Saatnya pulang.

“Abi.. Umi.. Kami pulang dulu ya!” ujar Keisuke pada Abi dan Umi.

“Iya,” kata Abi, “Jangan lupa nanti di rumah ngaji yang rajin biar jadi anak yang soleh!” tambah Abi lagi.

“Amin!” ucapku ikut mengamini sambil kemudian mengusap kepala Keisuke.

“Abi! A Jendral masih di madrasah ya?” tanya Keisuke.

“Iya,” kata Abi.

“Aku kesana dulu ya! Mau pamitan,” kata Keisuke yang kemudian beranjak.

Tidak tahu kenapa tiba-tiba, rasanya aku ingin ikut dengan Keisuke. Kakiku seolah terusik untuk melangkah kemudian berjalan mengikutinya. Tapi untuk apa? Untuk bertemu dengan Kang Zainu? Ah sudahlah. Baiknya aku tetap di sini. Lagi pula di sini ada Abi dan Umi. Biar aku mengobrol dengan mereka.

Dari Abi dan Umi aku mendapatkan informasi. Ternyata beberapa hari ini Kang Zainu sibuk membimbing pasaran. Semacam pengajian kilat yang di dalamnya diisi dengan materi-materi kajian kitab kuning karya ulama-ulama terdahulu. Pesertanya diikuti oleh para santri serta remaja-remaja kampung yang ada di sekitaran pesantren.

Dan aku baru tahu. Ternyata Keisuke pun datang ke sini untuk mengikuti pengajiannya Kang Zainu. Sungguh, aku tidak tahu. Jika memang benar begitu, harusnya Keisuke bilang. Tentu kami pun akan mengizinkan. Bukan malah pergi dari rumah dengan alasan jalan-jalan sore dan kemudian hilang. Membuat khawatir keluarga saja.

***

Langit nampak mulai cerah. Hujan nampak sudah tiada. Hanya bekasnya saja yang tersisa.

Sekarang, aku sedang berada di dalam mobil. Aku duduk di kursi belakang dengan Teh Ani. Sementara Keisuke duduk di kursi depan mendampingi Kang Yadi. Kami semua mengobrol. Aku banyak membuka pembicaraan. Menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan Abi dan Umi. Juga kang Zainu. Pokoknya banyaklah.

Lain waktu, aku ingin kembali bisa bertemu dengan Abi dan Umi. Dua orang yang telah membuatku kagum dengan kesederhanaannya. Dua orang yang sangat baik sambutannya. Dua orang sangat ramah dan telah membuatku nyaman ketika berada di samping keduanya.

Tentang Kang Zainu, dia tidak seperti yang kubanyangkan. Meski awalnya terkesan menjengkelkan, namun ternyata apa yang ia lakukan itu sepertinya hanya sebuah retorika, bagaimana ia membuat perkenalanku dengannya menjadi berkesan. Dengan cara yang unik. Sehingga aku banyak menduga-duga, menyangka dan lebih mendapatkan sesuatu yang mudah diingat.
***

PART 9
Saat ini malam hari. Seperti biasa, aku mendengarkan shalawat yang aku putar dari hapeku. Shalawat yang membangkitkan kecitaanku pada Baginda Rasul. Shalawat yang dipenuhi dengan doa-doa kenabian. Aku suka mendengarkan, pun demikian melantunkannya.

Aku sangat menyukai shalawat. Dan aku suka orang-orang yang membacakan sholawat. Karena Tuhan pun bershalawat. Shalawat dari Tuhan adalah rahmat, shalawat dari malaikat adalah permohonan maghfirah dan shalawat dari manusia adalah doa. Maka mari berdoa, Allohumma sholli wa sallim ‘ala sayyidina Muhammad. Semoaga Allah senantiasa menambah rahmat dan kehormatan kepada baginda Nabi pilihan, Nabi Muhammad SAW.

Air mataku berlinang saat ini. Bukan linangan kesedihan. Ini adalah linangan kerinduan. Rindu akan Nabi Pilihan. Semoga, suatu saat nanti aku akan dikumpulkan bersamannya. Dilingkup dengan syafaatnya. Diberikan senyum manisnya. Mmmhhh! Iiih! Kangen. Aku ingin menikah.

Ya, aku ingin menikah! Entahlah, setiap aku mengingat baginda Rasul, ada satu bagian dari hati kecilku yang mendorong agar aku segera menikah. Mungkin ini hanyalah efek dari kegadisanku saja. Setiap gadis dewasa pastinya mulai berpikir untuk menikah. Tentunya dengan lelaki yang baik. Lelaki yang nantinya bisa menjadi imam dan membimbing istrinya untuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Bukan harta semata. Bukan tampang semata. Melainkan juga dari sisi-sisi dimana ia mampu memberikan ketentraman, keilmuan, keturunan, ketaatan serta kesalehan.

Tidak salah jika aku mengidolakan Nabi Pilihan. Karena semua kebaikan lelaki ada padanya. Dan mungkin, hal itu pula yang membangkitkan hasratku untuk menikah. Hasrat yang muncul saat aku sedang mengingatnya. Ya Rasulallah.

Dialah kesempurnaan makna dan rupa
Tiada jiwa yang ingkar kecuali dusta
Dipilih oleh Sang Raja Yang Maha Perkasa
Tiada kolega dalam setiap kelezatannya


Rasulullah adalah manusia yang memiliki kesempurnaan jiwa dan raga. Akhlaknya begitu terpuji. Ia menyemaikan cinta dalam setiap tingkahnya. Ia memberikan ketenangan, ketentraman, dan kenyamanan di manapun adanya. Di masa lampau, di masa kini dan di masa yang akan datang, simpul cintanya akan terus mengikat kuat. Akan terus ada dan terus bersemi.

Dan semoga, aku termasuk menjadi bagian dari orang-orang yang mendapatkan cintanya, juga cinta dari orang-orang yang mencintainya.

Kelak, suamiku tidak mesti harus seperti baginda Rasul. Karena kurasa itu tidak mungkin. Tidak ada orang yang mampu menyamai ketampanan serta kebaikan Baginda Rasul. Tapi setidaknya, aku ingin memiliki suami yang mencintai Rasul. Suami yang berusaha meneladani Rasul. Suami yang berusaha untuk selalu taat seperti apa yang dicontohkan Rasul. Ya, menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.

Dan kalau bisa, aku ingin punya suami yang romantis. Tidak perlu formal dan tidak perlu kaku. Pokoknya yang penting halal. Suami yang selalu ngejailin aku setiap hari. Suami yang selalu pandai mencubit hidungku setiap hari. Suami yang selalu bikin kejutan-kejutan unik. Tidak perlu selalu mewah dan tidak perlu berlebih-lebihan. Sederhana saja, yang penting seru.

Kulihat selembar kertas di atas meja. Dari Kang Zainu. Tadi, sebelum naik ke dalam mobil saat hendak pulang, Keisuke sempat memberikannya padaku. Katanya surat titipan dari Kang Zainu.

Isinya hanya gambar wanita berkerudung yang di sisinya ada untaian kata-kata singkat. Gambarnya jelek. Hanya diukir dengan pulpen alakadarnya. Entah apa maksud dari gambar tersebut, aku tidak tahu. Yang jelas, di dalamnya ada perempuan berkerudung bertuliskan namaku. Perempuan itu sedang memegang pedang di tangan kirinya. Dan di tangan kanannya terdapat tali yang terhubung pada sesuatu yang entah makhluk apa. Mungkin kambing. Jumlahnya ada dua. Yang satu bertuliskan “WIBOWO” dan yang satunya lagi bertuliskan “ANGGUN”.

Di samping kiri gambar, terdapat tulisan-tulisan kecil. Sepertinya itu adalah penggalan puisi yang sempat dibacakan oleh Kang Zainu saat kita sedang berada di kebun tadi.

***

Dalam renungan, hatiku sering kali menjadi melankolis. Hidupku haruslah berharga. Dan aku adalah wanita. Entah kenapa aku selalu berpikir bahwa arti seorang wanita adalah ketika ia sudah berumah tangga. Ketika ia mampu melayani sosok yang didamba. Tentunya sosok suami tercinta.

Aku ingin menikah. Aku ingin mengabdi. Aku ingin seperti Siti Aisyah yang totalitasnya begitu berasa. Betapa Siti Aisyah melayani Rasulullah dengan penuh asmara. Ah! Ya Allah, inilah doa seorang perempuan. Engkau Maha Mendengar. Engkau Maha Melihat. Aku pasrahkan hidup serta matiku pada-Mu. Begitu pun jodohku. Ikhtiarku, Engkaulah Yang Maha Tahu.

***

Saat ini pagi hari. Aku sedang duduk-duduk di teras rumah yang menghadap ke arah taman. Ada Kang Yadi yang sedang asik mencuci mobil. Ia ditemani oleh Keisuke, Adnan dan Musa. Adnan dan Musa itu anaknya tante Lisa. Salah satu tetangga yang rumahnya bersebelahan dengan rumah kami. Sementara aku, aku saat ini sedang khusyu membaca buku Front Pembela Cinta. Sebuah buku yang memang belum selesai aku baca.

Pada dasarnya, aku memang suka membaca buku. Buku-buku aku baca kebanyakan adalah novel. Aku suka membaca novel. Selain itu, aku pun biasamembaca buku-buku keagamaan. Termasuk kitab-kitab yang di dalamnya membahas seputar tazkiyat an-nufus. Yakni ajaran tasawwuf tentang pembersihan hati.

Dari sebagian ulama tasawwuf yang menjadi pegangan umat islam adalah tasawsuf Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali asy-Syafi’i. Atau mungkin lebih populer dengan sebutan Imam Ghazali. Seorang ulama kenamaan yang sampai saat ini ajaran tasawwufnya banyak diikuti. Diantara kitabnya yang biasa aku baca adalah kitab Ihya Ulumiddin dan Kimiau Sa’adah.

Selain kitab-kitab tasawwuf, buku-buku lain yang biasa aku baca adalah buku-buku yang menunjang materi perkuliahanku. Namun novel memang buku bacaan yang menjadi favoritku.

Sebagaimana saat ini, aku membaca buku Front Pembela Cinta, sebuah buku yang judul dan nama pengarangnya masih asing di telingaku. Biasanya, aku membeli buku setelah aku baca sinopsisnya dari internet. Atau dapat rekomendasi dari teman yang telah terlebih dahulu membacanya.

Buku Front Pembela Cinta memang tidak sengaja aku temukan di pameran buku. Dan sementara ini aku merasa tidak menyesal membacanya. Aku suka. Buku ini menyajikan banyak hiburan. Ada pelajaran yang bisa aku ambil dari kisah-kisah yang disuguhkan.

Di dalamnya mengisahkan tentang sosok lelaki bernama Jaelani Muhaimin. Yang oleh Nabila biasa dipanggil dengan sebutan Jae Min. Nabila sendiri adalah seorang wanita cantik yang disukai oleh Jaelani Muhaimin dalam cerita tersebut.

Dalam novel itu dikisahkan bahwa Jaelani Muhaimin merupakan sosok pria urakan. Kerjaannya hanya nongkrong bersama teman-teman sejawatnya. Ia berprofesi sebagai pengatur lalu lintas di area proyekan jalan. Lebih tepatnya berprofesi sebagai tukang kencleng dan meminta uang-uang receh saat sedang mengatur buka tutup jalan.

Sedangkan Nabila merupakan mahasiswi kedokteran. Ia merupakan wanita cantik yang berasal dari keluarga kaya.

***

“Teh, tahu gak?” tanya Keisuke padaku.

“Apa?” aku balik nanya.

“Akei pengen ke Jepang,” ujarnya.

“Ya ke Jepang aja. Apa susahnya,” jawabku.

“Ya justru susah, lah..”

“Apa susahnya? Kan biasanya juga sering diajak sama Bunda.”

“Justru Akei gak pengen bareng Bunda.”

“Terus?” kataku singkat.

“Pengen sendiri.”

“Yaudah berangkat aja sana. Paling juga nanti diculik sama siluman gagang pintu.”

“Ih da, Teteh mah.”

“Emang mau apa ke Jepang Sendiri?”

“Akei mau berpetualang. Kalau sama Bunda pasti gak akan bebas. Harus ini, lah, harus itu, lah. Ribet.”

“Emang berpetualang ke mana?”

“Ke Konoha.”

“Konoha itu di mana? Di dekat rumah Sensei?”

“Bukan.”

“Tapi masih di Kyoto kan?”

“Bukan.”

“Terus?”

“Di Jepang.”

“Yaelah Akei Chan. Di Jepang di sebelah mana, sih? Perasaan selama Teteh tinggal di Jepang dulu, belum pernah denger tempat yang namanya Konoha.”

“Ah, pokoknya ada. Orang-orang sana pasti tahu.”

Aku tidak pernah mengerti cara berpikirnya Keisuke. Ia selalu berpikir tentang sesuatu yang sering membuatku mengerutkan dahi. Aku tidak faham. Entah apa yang ia pikirkan. Entah kenapa kita selalu memiliki pemikiran yang berbeda.

Punya adik laki-laki itu memang ribet. Bukan aku tidak mensyukuri nikmat yang luar biasa ini. Tapi memang begitu adanya. Mungkin itu bagian dari seni kehidupan. Keisuke cenderung nakal, wataknya itu selalu saja ingin mendominasi. Ia memiliki tipikal untuk terus maju. Tak pernah berpikir tentang resiko dan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Jika sudah ada kemauan, ia selalu berusaha untuk mendapatkannya. Kalau pun dilarang, ujung-ujungnya malah menangis. Maklum anak usia kecil.

Rasanya beda sekali denganku. Sedari kecil, rasanya aku cenderung feminim. Mau melakukan sesuatu selalu membutuhkan pertimbangan yang lama. Dan aku orang yang penakut.

“Teh, pinjam hape,” kata Keisuke kemudian.

“Mau apa?” tanyaku.

“Nelpon..” jawabnya.

“Jangan ah, nanti pulsanya habis.”

“Akei mau pakai aplikasi chat nelponnya.”

“Nanti malah kuotanya yang habis,”

“Nanti bisa beli lagi kan?” kata Keisuke.

Keisuke memang selalu sulit untuk dilarang. Ia selalu saja suka akal-akalan. Jika sudah ada maunya, ia suka bawel.

“Mau nelpon siapa?” tanyaku.

“Aa Jendral,” jawabnya.

Aku berpikir sejenak. Seperti ada sesuatu yang berputar dalam memoriku.

“Mau bicara apa dengan Kang Zainu?” tanyaku.

“Mau nanyain kambing, sudah dikasih makan atau belum,” jawabnya.

“Gimana kalau Teteh aja yang nelpon?” tawarku.

“Ya sudah, sok,” katanya.

Keisuke kemudian berlalu begitu saja. Ia menghampiri Adnan dan Musa untuk ikut nimbrung bermain air. Simpel. Anak kecil.
***

PART 10
Aku ambil hape-ku. Hape yang warnanya putih namun dibungkus dalam cover berwarna merah muda. Aku sentuh layarnya untuk sekedar memunculkan menu di kontak. Lantas aku tempelakan ke telinga. Telinga yang kata bunda bentuknya kecil meruncing.

Terdengar sayup-sayup sambungan mengalun. Nada tunggu. Aku hela nafasku. Nafas seorang gadis sunda keturunan jepang.

“Hallo, Assalamualaikum,” kataku.

“Iya, walaikumsalam. Ada apa Ayumi?” ia nanya.

Terdengar suara Kang Zainu. Suara yang kini bisa aku kenali.

“Ini Ayumi, kan?” kata Kang Zainu lagi.

“Iya,” kataku.

“O.. Kirain,” katanya singkat.

“Kirain apa?” tanyaku.

Suasana hening sejenak. Kang Zainu tak terdengar suaranya.

“Enggak kok. Ada apa?” Tanya Kang Zainu.

“Spidermannya ada?” tanyaku dengan suara pelan.

“Haha,” Kang Zainu tertawa.

“Hehe.”

**

“Kang, makasih ya,” kataku.

“Untuk apa?” tanyanya.

“Untuk jamuan kemarin,” kataku.

“Emang apa?” ia nanya lagi.

“Ya pokoknya terima kasih Akang dan keluarga sudah bersedia meluangkan waktu untuk menerima kedatangan kami.”

“Oh..” katanya.

Aku terdiam setelah hanya mendapat respon “oh” dari Kang Zainu.

“Kok diem?” tanya Kang Zainu.

“Bingung,” jawabku.

“Kok bingung?” tanyanya lagi.

“Ya bingung,” jawabku lagi.

Suasana kembali hening sejenak. Aku kesulitan untuk membuat satu obrolan yang baik.

“Ayu lagi apa sekarang?” tanya Kang Zainu.

“Lagi nelpon,” jawabku.

“O..” ujarnya.

“Iya,” kataku.

“Emang lagi nelpon siapa?” tanya Kang Zainu.

“Seseorang,” jawabku.

“Pacar ya?” tanya Kang Zainu.

“E? Bukan,” kataku, “Tukang baso tahu.”

“O, jadi pacar Ayu sekarang tukang baso tahu?”

“Bukan,” kataku, “Tukang baso tahu itu Akang. Hehe.”

“O, Akang tukang baso tahu yang jadi pacarnya Ayumi” katanya.

***

“Nitip kambing ya, Kang,” kataku.

“Maksudnya?” ia nanya..

“Iya. Wibowo dan Anggun. Nitip!”

“Maksudnya?” ia nanya lagi.

“Nitip, jangan sampai merepotkan Abi dan Umi. Jangan sampai Abi dan Umi mencari rumput untuk pakan Wibowo dan Anggun.”

“Maksudnya?”

“Ih? Terus aja ‘maksudnya? maksudnya?’ Nyebelin!” kataku.

“Haha. Maksudnya, kalau jangan Abi dan Umi lantas oleh siapa?” tanyanya.

“Ya Kakang atuh! Masa Abi dan Umi harus nyari rumput. Kasihan!”

“Biarin.”

“Akang ih?!”

“Apa?”

“Jangan ngerepotin Abi dan Umi!”

“Emang siapa yang ngerepotin Abi dan Umi?”

“Akang!”

“Lho? Bukannya Ayumi dan Keisuke yang ngerepotin? Bukankah itu kambingnya Akei,” ujar Kang Zainu.

“Eumhh..” Aku terpojok.

Kalau sedang seperti ini, aku merasa, ah. Sepertinya Kang Zainu memang menyebalkan. Apa ia tidak berfikir, meski kambing yang dipelihara oleh Abi dan Umi itu adalah kambing milik Keisuke, tapi masa iya Abi dan Umi yang harus mengurusi pakan kambing-kambing itu. Mereka kan orang tua. Jangan dibuat repot. Jangan dibuat capek dengan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh anak muda.

“Aku ingin bicara dengan Abi dan Umi!” kataku dengan nada serius.

“Abi gak ada. Lagi di madrasah, ngawuruk ngaji.”

“Ya Umi!” kataku.

Sejenak obrolan terhenti. Suasana agak hening. Tapi tidak berlangsung lama.

“Tunggu!” katanya.

Lantas aku menunggu beberapa saat. Terdengar suara keukeureuseukan untuk beberapa saat.

“Umi nuju naon?”[1] kata kang Zainu yang terdengar samar-samar. Mungkin ia sedang bertanya pada Umi. Namun suaranya tidak begitu jelas.

“Nyeupan daun sampeu..”[2] jawab seseorang. Itu suara Umi. Suaranya terdengar khas.

“Punten A, pang kadieuken cucutik!”[3] kata Umi lagi pada Kang Zainu.

Aku tersenyum mendengar obrolan mereka dari balik sambungan.

“Umi! Ini ada tukang baso tahu nelpon. Katanya ingin ngobrol dengan Umi!” ujar Kang Zainu.

“Hah?” Umi terdengar kaget.

Aku manyun. Kok tukang baso tahu? Maksudnya Kang Zainu?

“Umi bicara dulu, gak apa-apa kok!” kata Kang Zainu lagi.

“Alim ah!”[4] kata Umi.

“Gak apa-apa kok! Gak akan gigit! Tukang baso tahunya perempuan, Umi! Dia cantik dan baik. Beneran!”

“Aa mah aya-aya wae![5] Lagian mau apa tukang baso tahu ngobrol sama Umi?”

“Kan tukang baso tahunya spesial. Calon istri aa, Umi!”

“Iya gitu?”

Dahiku mengkerut mendengar ucapan Kang Zainu. Aku tidak terima. Namun bibirku jadi mesem.

“Hallo, Assalamualaikum?” kata Umi dari balik hape.

Suara Umi nampak teduh. Namun terdengar agak serius. Mungkin ia mengira-ngira siapa yang sedang diajaknya bicara ini.

“Wa‘alaikumsalam warahmatulloh! Umi! Ini Ayu. Ini Ayumi Nur Aziza, putri Bapak Salim Mansur, kakaknya Keisuke,” kataku menyergap dan langsung menjelaskan.

“Ini Neng Ayu?”

“Iya, Umi! Ini Ayu..”

“Ih si Aa mah! Masa gadis cantik dan baik seperti ini dibilang tukang baso tahu?”

“Iya, Umiii..” kataku langsung menyergap dengan nada agak manja.

“Nanti Umi jewer si aa nya...” Kata Umi.

“Jangan!”

“Kenapa?”

“Kasihan..”

“Gak apa-apa. Si Aa kan memang salah?”

“Tapi jangan dijewer. Gak tega..” kataku dengan suara manja.

Umi terdengar bergumam. Entah untuk apa. Mungkin karena mendengar kemanjaanku padanya. Aku memang seperti ini. Suka manja pada seseorang yang sudah aku anggap dekat. Dengan orang-orang yang membuatku merasa nyaman dan merasa tenang dengan kehadirannya.

Termasuk Umi. Ia adalah orang yang membuatku merasa nyaman, membuatku merasa dekat. Membuatku merasa seolah-olah ia adalah ibu kedua bagiku. Ibu yang baik sebagaimana Bundaku. Namun, bedanya, bunda adalah tipikal wanita karir. Ia dibesarkan di Jepang. Mengenyam pendidikan di sana. Dan hidup sebagai gadis Jepang pada umumnya.

Bundaku, ia adalah seorang muallaf. Karena sebelumnya, beliau memiliki keyakinan sebagaimana keyakinan orang-orang jepang pada umumnya. Namun Bunda memilih menjadi seorang muslimah setelah pertemuannya dengan Bapak di Fukushima dulu. Pertemuan yang membuatnya tersentuh. Itu yang diceritakan Bunda.

“Umi..!” kataku, “Ayu kangen,” kataku lagi.

“Eummh.. Umi juga kangen. Kapan atuh mau main ke rumah Umi lagi?”

“Sekarang,” kataku.

“Hah? Sekarang? Nu leres?”

“Hehe, Enggak. Bohong. Nanti insyallah..”

“Iya, pokoknya Umi tunggu!” balas Umi.

“Umi..!” kataku lagi.

“Apa?” kata Umi.

“Wibowo dan Anggun siapa yang ngasih makan?”

“Eumh? Siapa?” tanya Umi dengan keheranan.

“Wibowo dan Anggun,” kataku menegaskan.

“Siapa Wibowo dan Anggun?”

Aku berpikir sejenak. Oh iya Bunda, eh? maksudku Umi, ia pasti belum tahu siapa itu Wibowo dan Anggun. Lagi pula Wibowo dan Anggun itu hanya nama panggilan untuk hewan peliharaan. Dan yang tahu nama kkedua kambing itu hanya aku, Keisuke dan Kang Zainu.

“Emh, itu Umi. Dua kambing milik Keisuke.”

“Maksudnya?”

“Iya, jadi dua kambing itu diberi nama. Ada yang namanya Anggun, ada yang namanya Wibowo,” kataku menjelaskan.

“Hah? Masa kambingnya dikasih nama?”

“Iya, Umi. Hehe.”

“Eumh kalian ini, kok kambing dikasih nama?”

“Buat lucu-lucuan aja, Umi.”

***

“Kambing-kambing disini sudah ada yang ngurus kok, Neng,” kata Umi.

“Siapa?” Tanyaku.

“Disini kan banyak santri. Mereka bagi-bagi tugas untuk mengerjakan berbagai aktivitas di pesantren. Termasuk mengurus hewan-hewan ternak. Jadi Neng tidak perlu khawatir!” ujar Umi.

“Oh..” kataku singkat.

Aku jadi lega. Tadinya aku berpikir bahwa kambing-kambing itu diurus langsung oleh Abi dan Umi. Soalnya waktu ke sana, aku melihat Abi memang sangat hobi berkebun dan mengurus binatang-binatang ternak.

“Umi, ari ieu cengekna bade direkuh?”[6] Terdengar suara Kang Zainu samar-samar bertanya pada Umi.

“Muhun A! Tapi eta teh teu acan diterasian. Sakantenan!”[7] kata Umi.

Kurasa Kang Zainu sedang membantu Umi membuat sambal.

“Umi..” kataku.

“Iya?” kata Umi.

“Kang Zainu baik ya!” kataku.

“Lho? Kok Neng Ayu bilang gitu?”

“Eh, enggak,” kataku.

Aku jadi merasa, ah.Kenapa pula aku bilang seperti itu pada Umi. Membuatku bermasalah dengan batinku saja.

“Eumh.. Umi jadi curiga,” kata Umi.

“Curiga apa? Hehe,” tanyaku.

“Mungkin benar kata Keisuke,” ujar Umi.

“Emang Keisuke bilang apa?” tanyaku mendadak penasaran.

Tiba-tiba sambungannya mati. Pulsaku habis. Ya sudah. ***
_____________
[1] Umi sedang apa?
[2] Merebus daun singkong,
[3] Tolong A, ambilkan spatula!
[4] Enggak ah!
[5] Aa ada-ada saja!
[6] Umi, cabe rawitnya mau diulek?
[7] Iya. Tapi itu belum dikasih terasi. Sekalian aja!
***

PART 11
Besok adalah acara reuni SMA. Acara yang melibatkan tiga angkatan. Aku berada di angkatan yang paling muda.

Sekolahku dulu di SMA Negeri 5. Sekolah yang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya perlu dua kali naik angkot. Itu pun karena ada belokan yang nanggung, yang membuatku harus berganti angkot. Pedahal kalau mau jalan kaki, masih bisa. Tapi harus lewat jalan pintas. Sekitar lima belas menit kalau jalan kaki.

Aku kangen masa-masa SMA. Masa-masa di mana aku mendapatkan banyak kenangan. Masa-masa di mana aku memiliki banyak teman. Baik teman satu sekolah maupun teman di luar sekolah. Bahkan waktu SMA aku memiliki sebuah geng. Semacam teman-teman ngumpul dan nongkrong. Kalau ada sesuatu, kita sering berbagi bersama.

Nama geng tersebut biasa dipanggil “komplotan aromanis”. Isinya ada aku, Anisa, imas, Sarah dan Ima.

Dari namanya memang terkesan aneh, “komplotan aromanis”. Tapi memang seperti itu adanya. Kalau aku ingat sekarang, rasanya nama tersebut terlalu lebay. Aku merasa malu sendiri bila mengingatnya sekarang. Tapi nama tersebut sebenarnya bukan nama yang kami buat.

Nama itu awalnya hanya panggilan dari anak-anak pria gara-gara kami sering ngumpul bareng. Ke mana-mana selalu berkomplot. Hingga kemudian mereka menyebut kami komplotan aromanis. Katanya sih, karena kami sering berkomplot, tapi nampak manis. Awalnya, kami risih. Tapi lambat laun jadi kebiasan. Jadi terbiasa. Akhirnya kami pun seolah mengiyakan. Seolah ridho dipanggil demikian.

Dulu waktu SMA aku pernah mengalami hal tidak menyenangkan. Pernah suatu ketika aku didatangi oleh anak-anak pria dari kelas IPS. Kalau tidak salah dari kelas IPS 4. Mereka datang beramai-ramai ke kelasku. Awalnya aku tidak mengerti maksud kedatangan mereka.

Tapi kemudian aku tahu, ada salah seorang di antara mereka yang mau menyatakan cinta padaku. Atau anak remaja saat itu menyebutnya dengan istilah “nembak”.

Orang itu adalah Anjar. Siswa yang dikenal nakal di sekolah. Ia sering bermasalah dengan BP. Bahkan menurut sebagian teman, anjar sering ikut tawuran di luar sekolah. Ia pun memiliki nama panggilan yang aneh. Teman-temannya biasa memanggilnya dengan sebutan “rawing”, atau kadang dipanggil juaga “panglima tempur”.

Bagiku, saat itu adalah hal yang sangat tidak menyenangkan. Membuatku merasa menjadi manusia yang dipenuhi rasa bingung dan cemas. Aku dihadapkan pada pilihan yang tidak nyaman. Pada pilihan yang sulit untuk aku ungkapkan.

Aku tidak menyukai Anjar.

Pada dasarnya, aku memang menghargai siapa pun yang menaruh rasa suka padaku. Bagiku, itu adalah anugerah dari Allah. Tapi bukan berarti aku harus menyambut setiap orang yang menyukaiku. Apalagi harus sampai pacaran. Bagiku itu tidak mudah. Aku memiliki prinsip untuk tidak berpacaran. Sudah banyak pria yang menyatakan perasaannya padaku dan mengajakku untuk jadian, tapi aku sangat menyesal karena aku sangat tidak bisa mengabulkannya.

Pernyataaan cinta dari Anjar adalah sesuatu yang sulit. Ia bukan orang yang bisa diajak kompromi. Jika aku menolaknya itu berarti aku akan bermasalah dengannya. Apalagi jika aku menolaknya di depan umum.

Kala itu Anjar memberikan pilihan padaku. Jika aku mau menerimanya, maka aku harus mengambil bunga yang ada di tangan kanannya. Sedangkan jika aku menolak, ia malah bilang itu mustahil. Seperti memaksakan.

Aku merasa bingung, atau lebih tepatnya takut. Aku hanya bisa diam tidak bisa menanggapi apapun. Aku diam. Hingga Anjar yang kala itu terus mendesakku kesal.

“Ayo dong! Jawab!” Ujarnya kala itu dengan nada agak tinggi.

Ia memaksaku untuk memberikan jawaban yang aku sendiri bingung. Aku hanya diam dan tidak bisa menjawab. Yang jelas, aku tidak suka Anjar. Tapi aku bingung cara menolaknya.

Aku perlahan nangis. Anjar kala itu tidak memperdulikan tangisanku. Ia seperti tidak faham. Seharusnya ia mengerti. Bahkan, kawan-kawannya yang kala itu ikut menyaksikan malah meyerukan, “Terima! Terima! Terima!” Pedahal tangisanku harusnya sudah cukup membuat mereka mengerti.

Saking kesalnya, kala itu Anjar melempar bunga yang ada di tangannya. Ia langsung merapat, dan lantas menyentuh pipiku. Sontak aku memalingkan wajahku. Aku tidak ingin dia menyentuh wajahku. Namun ia memaksa dan memegang tanganku dengan erat. Aku berusaha melepaskannya. Tapi aku tidak bisa.

Ia memegang tanganku kuat. Mendekatkan wajahnya ke arahku. Seperti hendak mencium. Aku berusaha menghindar. Aku mundur. Namun ia terus mepet ke arah wajahku. Hingga kemudian aku mati langkah dan tidak bisa lagi menghindarkan diri.

Saat itu aku benar-benar terdesak. Aku tidak tahu harus bagaimana. Wajah Anjar semakin merapat ke arahku. Aku mulai merasakan hembus nafasnya menerpa wajahku.

Ketika wajahnya sudah semakin dekat, ada sebuah tarikan yang membuat Anjar terpelanting lantas terjatuh. Dan ternyata itu adalah tarikan dari Anisa. Ia datang di saat yang tepat.

“Apa-apaan ini?” kata Anisa membentak kala itu.

Anisa adalah gadis pemberani. Di antara teman-teman yang lain, dia memang yang paling berani. Apalagi, ia merupakan anak kepala sekolah. Tak heran jika ia sangat disegani oleh siswa yang lain. Mungkin itu pula yang akan membuat Anjar tidak berani macam-macam dengan Anisa.

“Pergi!” kata Anisa lagi.

Saat itu Anisa melotot kepada Anjar dengan penuh emosi. Wajahnya merah menyala. Nafasnya tersengal. Ia terlihat sangat marah. Baru pertama aku melihat Anisa dengan ekspresi kemarahan seperti itu.

Anjar dan kawan-kawannya hanya terdiam. Mereka nampak kebingungan dengan kedatangan Anisa.

“Pergiiiiiiiiiii!!!” kata Anisa lagi sambil berteriak.

Seketika itu pula, Anjar dan kawan-kawannya berlalu. Mereka pergi meninggalkan kelas dengan wajah ketus dan nampak kesal. Mereka nampak tidak puas.

Imas dan Ima lantas menghampiriku. Mereka memelukku dan menyeka air mataku. Sedangkan Sarah, ia terlihat menenangkan Anisa yang masih emosi. Dan itu adalah sebuah momen dimana aku benar-benar merasa tertolong.

***

“Neng!” Bapak memanggil.

“Iya,” sahutku.

“Ada telepon.”

“Iya tunggu sebentar!” kataku yang kemudian beranjak keluar kamar.

“Dari siapa, Pak?” aku nanya kepada Bapak yang masih berada di depan pintu kamar.

“Ihsan,” jawab Bapak singkat.

Kemudian aku langsung menuju ketempat dimana telepon rumah ditaruh.

“Halo, Assalamu’alaikum?” kataku mengucap salam.

“Wa’alaikumsalam, Ayumi,” balasnya.

“Kang Ihsan? Ada apa?” tanyaku.

“Gak ada apa-apa. Cuma ingin memastikan aja. Besok kamu datang kan?” lanjutnya lagi.

“Iya, Insyaallah datang.”

“Ya harus! Pokoknya besok kamu harus datang! Aku kangen kamu. Sudah lama kita tidak bertemu.”

“Iya, Insyallah besok datang.”

“Mau aku dijemput?”

“Gak usah, Kang!”

“Owh! Mau berangkat dengan Sarah dan Imas ya?”

“Iya.”

“Besok, sebelum berangkat jangan lupa sarapan ya!”

“Iya.”

“Tapi, sarapannya jangan terlalu banyak! Soalnya besok sudah disediakan makanan yang enak-enak. Jadi nanti kamu makannya di tempat reuni aja!”

“Iya.”

“Besok, aku mau ngasih kejutan sama kamu.”

“E?”

“Iya. Besok aku mau ngasih kejutan sama kamu.”

“Kejutan apa?”

“Ah! Kalau dikasih tahu bukan kejutan namanya.”

“Eumh? Apa gak kebalik, Kang? Kenapa pula Akang bilang mau ngasih kejutan? Kan jadi bukan kejutan kalau sudah bilang dari sekarang.”

“Eumh, Akang belum bilang kejutannya apa kok.”

“Iya. Tak apa.”

“Sekarang, Ayu lagi apa?”

“Lagi nelpon..”

“Maksudnya sebelum ditelepon, Ayu lagi apa?”

“Lagi tiduran aja sambil dengerin sholawatan.”

“Oh.. Sama dong!”

“Wah? Beneran? Serius?”

“Hehe, enggak sih. Bohong.”

“Ih,” kataku dengan nada kecewa. “Eh, Kang, Udah dulu ya! Ayu masih ada urusan. Lain kali dilanjut lagi.”

“Mmmh. Yawdah.. Tapi besok hadir ya?”

“Iya. Insyallah,” kataku, “Assalamualaikum,” lanjutku.

Kemudian aku menutup teleponnya. Aku manyun. Entahlah. Mungkin kurang mood.

“Kenapa? Kok manyun?” tanya Bapak ketika aku sedang berjalan menuju kamar.

“Kang Ihsan,” jawabku.

“Kenapa kang Ihsan?” tanya Bapak. “Nyebelin ya?” lanjutnya.

“Gak tahu,” jawabku.

“Lho? Kok gitu? Kang Ihsan kan orangnya baik. Cocok kalau jadi suami kamu.”

“E?” Aku kaget mendengar ucapan Bapak. “Ayu gak mau,” kataku spontan.

Bapak senyum. Kemudian ia menghampiriku. Lantas mencubit hidungku.

“Kenapa gak mau? Kang Ihsan kan baik?”

“Gak mau..” kataku merengek sama Bapak.

“Lantas? Kalau gak mau dengan Kang Ihsan, maunya dengan siapa? Hayooh?” tanya bapak lagi.

Suasana menjadi hening. Aku diam dan tidak bisa bicara apa-apa. Aku bingung harus menjawab apa.

“Kamu sudah besar, Ayumi. Sudah cukup untuk menikah. Sudah waktunya kamu memberi Bapak dan Bunda seorang cucu,” ujar Bapak.

Aku mengerti dengan apa yang Bapak ucapkan. Aku tahu, aku sudah dewasa. Tanpa bapak ingatkan pun aku sudah cukup faham. Aku memang gadis dewasa yang sudah cukup untuk menikah. Sudah cukup untuk membina rumah tangga, memiliki suami, lantas memiliki anak. Namun siapa yang kelak akan menjadi suamiku, itu masih merupakan rahasia Tuhan. Aku tidak tahu dan aku tidak memiliki kuasa untuk itu. Jodoh ada ditangan Tuhan. Aku hanya bisa berikhiar. Berusaha mempercantik diri. Berusaha memperbaiki diri.

Saat ini, memang ada beberapa laki-laki yang mendekatiku. Bahkan diantara mereka sudah ada yang mengutarakan niatnya secara jelas kepadaku. Dan aku bersyukur ketika mereka telah memilihku. Namun, sayangnya aku tidak faham bagaimana caraku untuk menentukan pilihan.

Yang kutahu, dulu Gus Usman adalah lelaki pertama yang pernah membuatku merasa suka. Dan ia pula lelaki pertama yang membuatku untuk mulai membuka hati.

Sayangnya ia tak pernah mengungkapkannya padaku. Dan bagiku, itu merupakan sesuatu yang rumit. Karena menurutku, dalam masalah cinta, adanya wanita memang untuk dipilih. Dan ketika Gus Usman tidak pernah menyatakan cintanya kepadaku, itu berarti dia belum memilihku. Karena aku beranggapan, untuk mendapatkan sosok istri, seorang lelaki memang harus memilih. Walau akhirnya, wanita yang menentukan.

Kulihat Bapak tersenyum padaku. Kemudian ia mengusap kepalaku. Ia seolah mengerti apa yang aku pikirkan. Dan aku hanya bisa menatapnya dengan rasa malu tanpa bisa berkata apapun lagi.

Lantas, aku beranjak meninggalkan Bapak. Pergi ke kamar dengan suasana hati yang penuh dilema. Penuh dengan pertanyaan yang masih menggantung jawabannya. Tentang siapa calon suamiku kelak? Siapa yang akan menjadi imamku kelak? Dan kurasa ini adalah pertanyaan yang suatu saat nanti pasti akan aku jawab. Tapi bukan sekarang.
***

PART 12
Hari ini adalah hari Minggu. Masih pagi dan cuacanya cukup cerah. Aku suka dengan cuaca seperti ini. Membuatku bersemangat untuk melaksanakan berbagai aktifitas. Membuatku bergairah untuk melaksanakan berbagai pekerjaan.

Apalagi angkot yang aku tumpangi melaju dengan lancar. Menyusuri jalan lebar sepanjang Kota Cimahi. Tidak ada kemacetan yang aku temui. Semua terasa tertib dan nyaman. Beda dengan dulu, saat aku masih duduk di bangku sekolah, angkotnya selalu terjebak macet.

Dulu, di daerah yang aku lalui ini, di sekitaran jalan Gandawijaya, banyak sekali pedagang kaki lima yang ramai berjualan. Banyak di antaranya yang berjualan sampai ke badan jalan dan sering membuat kemacetan. Tapi sekarang semua sudah nampak berbeda. Sepertinya para pedagang kaki lima tersebut sudah direlokasi. Dan jalanan pun kini terasa lenggang.

Saat ini aku sudah sampai di masjid Agung Cimahi. Selepas turun dari angkot, mataku langsung melirik ke berbagai arah. Berusaha menemukan Sarah dan Imas yang katanya sudah sampai terlebih dulu. Kita memang sudah janjian disini. Di tempat yang sering kita jadikan tongkrongan sore saat masih sekolah dulu. Ya, kita memang sering nongkrong di sini. Di taman dan pelataran yang ada di depan mesjid.

“Aku sudah sampai di Mesjid Agung. Kalian dimana?” kataku melalui hape.

“Coba lihat kesamping! Kita di mushola!” balas Sarah.

Lantas aku menengok ke sebelah kanan, memusatkan pandangan ke arah mushola. Dan kulihat ada seorang perempuan cantik memakai kerudung berwarna coklat, ia sedang duduk sambil melambaikan tangan. Aku langsung tersenyum. Ya, itu Sarah. Sahabatku yang sudah jadi ibu. Dan di sampingnya, nampak ada seorang gadis yang masih tomboy. Ia mengenakan jaket jeans dengan bawahan celana jasmin. Ya, dia Imas. Keduanya adalah sahabatku yang aku kangeni.

Aku segera menuju ke arah mereka. Tentunya dengan nuansa bahagia. Senyumanku kupasang lebar. Mataku berbinar. Aku merasa seperti sedang dirasuki malaikat rahmat yang membabi-buta memberikan kasih sayangnya. Membuatku mendayu-dayu dalam nostalgia ini. Pertemuan di antara sahabat yang sudah lama tak bertemu. Dan tentunya dipenuhi dengan dahaga rindu.

Kulihat mereka nampak berdiri, menyambutku seolah ingin meraih kerinduanku. Dan kulihat senyum mereka landai. Senyuman hangat yang masih sama seperti dulu.

“Assalamualaikum!” kataku sambil merangkul mereka.

“Walaikumsalam.. Duh, Mahasiswi Al-Azhar,” balas Imas dengan suara rindu.

Kami saling berpelukan. Meluapkan rasa rindu menggebu. Entah mengapa, aku sangat haru.

“Maaf aku telat!” kataku.

“Gak apa-apa! Lagian kamu sudah biasa telat kok.. Kebiasaan!” timpa Sarah sambil mencubit pipiku.

“Hehe,” aku senyum.

Kuperhatikan dari segi fisik, keduanya sudah nampak banyak berubah. Ya! Sarah kini ia nampak keibuan, terlihat semakin dewasa. Mungkin karena ia memang sudah menikah dan memiliki anak. Sedangkan Imas, ia nampak lebih fresh dan agak feminim, meskipun aura tomboinya masih lebih kuat. Tidak secuek dulu.

“Eh, gimana kabarnya? Kok agak kurusan?” tanya Sarah padaku.

“Alhamdulillah sehat, dan masih tetap jomblo,” kataku bercanda.

“Haha,” Sarah dan Imas nampak tertawa.

"Oh masih jomblo ya? Duhhh! Kapan mau nyusul? Dari zaman SMA kok masih jomblo aja,” kata Sarah yang memang sudah berkeluarga.

“Hehe, Caariin dong!” kataku manja dengan bibir yang agak dimanyunkan.

Aku memang agak manja kalau sedang ngobrol dengan teman. Agak lebai. Atau mungkin memang lebai beneran? Entahlah, aku memang suka manja kalau sudah berkumpul dengan teman-temanku ini. Suasana hati terasa bebas. Terasa nyaman dan tidak ada beban yang membuatku harus terkesan formal dan kaku.

***

“Mmmh, jadi? Kapan kita berangkat ke tempat Reuninya?” Imas nanya ditengah perbincangan.

“Masih pagi keles. Paling di sana pun belum ada siapa-siapa,” kata Sarah.

“Iya, mending kita ngobrol aja dulu. Nyantai kaya di pantai,” kataku.

Kemudian kita langsung menuju ke warung yang ada di sebrang jalan. Warung yang lokasinya tak jauh dari masjid. Warung sederhana milik Bu Yanti. Warung yang dulu sering kita jadikan tempat ngumpul kalau sedang ingin jajan kurupuk banjur.

Kita duduk-duduk di depan warung. Ngobrol-ngobrol dengan Bu Yanti yang memang sudah cukup akrab dengan kami. Bu Yanti orangnya baik. Ia ramah dan bersahaja. Kami sudah menganggapnya sebagai orang tua kami sendiri. Dulu kami sering liliwetan di rumah Bu Yanti. Ya, mungkin karena saking dekatnya.

“Eh, itu?” kataku kaget ketika melihat sebuah buku yang terselip di tas Imas.

“Hmm?” Imas nampak bingung.

“Itu! Buku karya pujangga yang tak berpuisi!” kataku, “Itu yang itu! Buku itu!” kataku sambil menunjuk bukunya Imas.

“Yang ini?” tanya Imas.

“Iya,” jawabku.

“Haha. Kok kamu tahu? Pernah baca?”

“Iya, pernah,” kataku.

Itu adalah buku yang sama persis dengan buku yang pernah aku beli dari Brigif seminggu lalu. Sebuah buku unik dengan judul “Front Pembela Cinta”. Buku karya seorang penulis yang bernama Zain Asakir. Seorang penulis yang katanya sedang kesepian dan keracunan.

“Kamu sudah baca buku ini?” tanya imas.

“Iya,” kataku, “buku itu lucu ya?” lanjutku.

“Haha,” ia tersenyum lebar.

“Aku baru beli buku itu seminggu yang lalu, di Brigif. Saat ada bazar buku,” kataku.

Lantas aku sedikit mengulas tentang beberapa hal yang ada di dalam buku tersebut. Tentang keunikannya. Tentang gaya tulisannya. Dan tentang alur cerita yang ada di dalamnya. Termasuk kata pengantar penulisnya yang cukup menggelikan. Dimana buku tersebut mendeskripsikan sebagai buku pembangun jiwa pembangkit arwah. Dan ditulis oleh seorang penulis mabuk di tengah kondisi kesendirian namun dengan inspirasi keroyokan.

Imas hanya tersenyum. Sinar wajahnya terpancar ketika mendengarkan penjelasanku. Ia tak banyak berkomentar. Namun hanya tertawa kecil saat aku terus mengulas bagian-bagian nyeleneh yang ada dalam buku tersebut.

“Kamu suka novelnya?” tanya Imas.

“Iya. Suka. Lumayan sih. Bagus,” jawabku.

“Haha. Iya. Makanya sekarang aku mau bikin sinopsisnya untuk di muat di artikelku,” ujar imas dengan nada gemas.

“Hehe.”

“Kamu tahu gak?” Imas nanya

“Apa?” tanyaku.

“Aku kenal dengan penulisnya.”

“Oiya? Benarkah?”

“Beneran. Dulu waktu aku aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, ia pernah mengisi materi di acara pesantren Jurnalistik.”

“Wah, beneran?”

“Iya. Asli ieu mah.”

“Pasti orangnya aneh ya?” tanyaku menebak-nebak

“Maksudnya?”

“Ya semacam.. Pemikirannnya nyeleneh. Atau misterius gimana gitu. Atau.. Ya suka bercanda misalnya. Soalnya.. Novelnya pun khowariqul adat[1] gitu, hehe.”

“Ih enggak, beda! Dia itu aslinya.. ya orangnya kalem. Dewasa sih. Berwibawa, ganteng dan terlihat karismatik. Nanti aku kenalin sama kamu, lah.”

Di tengah obrolan, dari dalam tas, tiba-tiba hapeku berbunyi. Nampaknya ada chat yang masuk.

“Wah.. Boleh tuh! Kenalin ya! Kali aja.. eum..” kataku.

“Duh berat, euy.”

“Emang kenapa?”

“Kalau kamu ketemu dia, nanti dia bakal suka kamu. Kamu pun bakal suka dia.”

“Iya gitu?”

“Bisa jadi. Dia itu baik dan ganteng. Kamu cantik.”

“Boleh tuh. Kan serasi,” kataku dengan ekspresi centil.

“Kamu mau nomor hape-nya?” tanya Imas.

“Boleh.” Kataku.

Lantas aku ambil handphone-ku dari dalam tas. Ya, untuk mencatat dan menyimpan nomor kontak sang penulis. Barangkali kelak aku akan membutuhkannya. Setidaknya buku karyanya membuatku kagum.

“Tunggu!” kataku kepada Imas agar ia tidak buru-buru menyebutkan kontak penulis.

Aku buka sebuah chat yang masuk di Whatsapp, namun belum kubaca. Dari Kang Ihsan.

Asslm. Neng, udah dimana? Akang nunggu di sekolah

Aku balas:

Di Masjid Agung. Lagi ngumpul sama Sarah dan Imas.

Kang Ihsan:

Oke. Akang tunggu kehadiranmu, ada kejutan..

Aku balas:

Sebentar lagi aku kesana, Kang.

“Siapa?” tanya Sarah kepadaku.

“Kang Ihsan,” jawabku.

“Ihsan yang anak pengusaha wajit itu?” tanyanya lagi.

“Iya,” jawabku.

Aku memberikan hapeku kepada Imas. Biar ia menuliskan nomor penulis buku “Front Pembela Cinta” di hapeku.

***

Mentari mulai semakin naik. Sepertinya ia ingin segera memuncak di langit. Mengawang di atas ubun-ubun. Aku, Sarah dan Imas segera berangkat ke lokasi acara reuni yang diadakan di sekolah. Di sana, kami akan bertemu dengan teman-teman yang lain, termasuk Anisa dan Ima.

Sepuluh menit naik angkot, kami sampai di sekolah. Sudah banyak yang berubah. Beberapa bangunan sudah ada yang nampak asing. Ruang osis dan ekskul yang kini berlantai dua. Kemudian ada pula jembatan cinta yang kini sudah diperlebar. Sebuah jembatan yang melintang di atas jalan raya yang menghubungkan area sekolah bagian atas dan bawah. Sekolahku memang terbagi dua. Dipisah oleh jalan raya.

Anisa dan Ima menyambut kami. Seperti biasa, kita langsung heboh. Centil-centil gimana, gitu. Kita kalau sedang kumpul memang seperti ini. Sudah sejak dulu.

Aku dan yang lainnya duduk melingkar di atas kursi yang memang sudah disediakan oleh panitia. Kita ngobrol asik. Bahkan hampir tidak memperdulikan sambutan-sambutan yang sedang disampaikan pada acara pembukaan.
__________
[1] Artinya: Di luar kebiasaan.
***

PART 13
Ketika itu adalah..