Jangkrik dan Kenangan Basa Harita
Selepas ngaji magrib tadi, saya langsung dapat laporan dari istri bahwa ada hewan di kamar. Saya hampir menduga, bahwa hewan tersebut adalah gajah, jerapah atau mungkin singa. Hanya saja, istri saya kemudian bilang bahwa hewan tersebut terbang.
Pikiran saya pun menerawang pada kemungkinan hewan-hewan yang bisa terbang. Namun kali ini saya menurunkan standar pemikiran saya, saya tidak ingin berlebihan menebak bahwa itu adalah seekor elang.
Saya bilang, "Ah! itu paling simeut (belalang), soalnya Aa tadi lihat simeut," kata saya datar. Sebuah ekspresi yang sebenarnya merupakan bentuk lain dari keengganan saya untuk memeriksa hewan apakah yang dimaksud. Saya sedang merasa lelah, saya ingin segera istirahat karena siang harinya saya sudah cukup bejibaku dengan aktivitas di luar rumah.
"Oh gitu" respon istri saya.
Namun tidak lama ketika saya mulai rebahan di kasur, benar ada hewan terbang. Tapi tidak seperti simeut belalang. Lebih mirip lege atau semacam kecoa.
"Tuh, itu mah sanes simeut a," kata istri agak sewot.
"Nya wios da moal kukumaha," balas saya masih dengan ekspresi datar, sebuah reaksi yang menyiratkan sikap enggan untuk beranjak menyingkirkan hewan tersebut.
Namun, istri masih terus rewel dan merengek. Inilah, itulah. Akhirnya saya pun mengalah dan bangun untuk memeriksa.
Tepat di sudut tempat tidur, saya menemukan jangkrik. Seekor hewan yang sudah lama tidak saya temui. Meskipun mungkin suaranya bisa terdengar di malam hari.
Akhirnya, saya ambil jangkrik tersebut. Tidak pakai tangan, tapi ditutup pakai peci.
"Tuh kan Aa ge sieun!" kata istri agak meledek karena saya menangkap jangkrik tidak dengan tangan.
"Ya biar gampang aja," kata saya. Meski sebenarnya saya merasa antara jijik dan takut jika menangkapnya dengan tangan.
Kemudian saya buang jangkrik tersebut ke luar rumah. Hingga tiba-tiba pikiran saya pun melintas ke masa lalu. Dimana sebenarnya saya pernah hidup bersama jangkrik di masa kecil.
Kenangan Basa Harita
Dulu saat usia sekolah dasar, saya biasa main di sawah. Dan salah satu yang biasa menemani permainan masa kecil saya adalah bermain dan mengurus jangkrik.
Menangkap dan memegang jangkrik bukanlah hal yang jijik dan menakutkan. Saya terbiasa melakukan itu.
Ada puluhan jangkrik yang bisa saya pelihara. Semua jangkrik-jangkrik tersebut adalah hasil tangkapan saya dari galengan-galengan sawah yang rungkad atau sengaja saya rungkadkan. Meskipun mungkin galengan sawah itu adalah galengan sawah milik orang lain. Tapi demi jangkrik, tetap digali dan diguar.
Dulu, saya mahir mwmbuat kandang jangkrik. Biasanya, kandang jangkrik saya buat dari pagar seseg bambu yang dipotong dan disusun selang seling. Kemudian diikat setiap sudutnya pakai tali atau karet. Atau kalau yang agak sederhana, kandang jangkrik bisa dibikin dari sapu lidi yang ditusuk berbaris pada batang daun pisan. Lantas disabung sambungkan sehingga berbentuk kotak semacam sangkar burung.
Maaf bila pembaca harus membayangkan, saya tidak punya gambar ilustrasi kandangnya.
Selain kandang, saya juga sering mempersiapkan pakan jangkrik. Hanya saja saya lupa persisnya, dulu saya suka ngasih pakan apa ya?! Kalau gak salah rumput atau daun sampeu gitu? Lupa.
Jangkrik-jangkrik tersebut biasa diadu. Saya biasanya melombakan dengan jangkrik-jangkrik punya teman. Yang dilombakan suaranya. Kadang melombakan berkelahi juga. Karena kadang-kadang suka ada aja jangkrik yang kanibal.
Begitu kira-kira.
Jika kamu sepaham, follow saya di instagram: Ang Rifkiyal