Pangersa Ajengan Menyuruhku Menikahi Neng Zulfa
Aku ditemani Jajang dan Engkus. Dua orang santri yang hari ini sama-sama mendapat tugas piket untuk mencari pakan kambing.
Jajang dan Engkus lebih cekatan hari ini. Mereka berdua sudah mengumpulkan masing-masing dua karung. Sedangkan aku, satu karung pun belum terisi penuh.
Piket hari ini memang terasa ngaret bagiku. Bawaanya malas dan kurang bergairah. Mungkin karena tadi Siska terlalu lama meneleponku.
Siska adalah anak perempuan Kang Haji Burhan, tetanggaku di kampung. Ia memang sering menghubungiku. Ia selalu bertanya tentang banyak hal. Tentang inilah, itulah, bahkan untuk sesuatu yang kupikir sederhana sekali pun.
Siska cukup pintar membuat puisi. Hampir tiap minggu ia membuat puisi. Puisi-puisinya itu biasa ia muat di facebook. Dan aku sering ditag, ditandai olehnya.
***
"Jang, itu karungmu kok cepet penuh? Kamu isi babadotan sama daun karikil, ya?" tanyaku bergurau.
"Nya kumaha we cara namah, yang penting penuh," katanya menimpali dengan bercanda.
"Dari pada capek-capek, kenapa gak sekalian aja sikat padinya Pak Mahmud, tuh, biar gampang," kataku lagi.
"Benar juga," sahutnya.
Tak lama, hapeku berbunyi lagi. Ada panggilan masuk. Kuangkat, kudengarkan suaranya.
Kali ini bukan dari Siska. Tapi dari Kang Subang. Ia adalah ro'is 'am di pesantren, atau ketuanya para santri.
"Jang, itu karungmu kok cepet penuh? Kamu isi babadotan sama daun karikil, ya?" tanyaku bergurau.
"Nya kumaha we cara namah, yang penting penuh," katanya menimpali dengan bercanda.
"Dari pada capek-capek, kenapa gak sekalian aja sikat padinya Pak Mahmud, tuh, biar gampang," kataku lagi.
"Benar juga," sahutnya.
Tak lama, hapeku berbunyi lagi. Ada panggilan masuk. Kuangkat, kudengarkan suaranya.
Kali ini bukan dari Siska. Tapi dari Kang Subang. Ia adalah ro'is 'am di pesantren, atau ketuanya para santri.
Kang Subang menyuruhku untuk menunda pekerjaan. Ia memintaku untuk segera bergegas kembali ke pesantren. Katanya, aku dicari oleh pangersa ajengan. Aku disuruh untuk segera datang ke aula pengajian dan bergabung dengan santri lainnya.
"Cepetan Jaka!" Kata Kang Subang padaku.
"Cepetan Jaka!" Kata Kang Subang padaku.
"Muhun siap," balasku.
Aku pun segera bergegas, membereskan barang-barang dan peralatan ngarit untuk segera kembali ke pondok.
Tidak biasanya pangersa ajengan memintaku untuk ikut mengaji. Pedahal hari ini aku sedang jadwal piket ngarit.
Aku pun segera bergegas, membereskan barang-barang dan peralatan ngarit untuk segera kembali ke pondok.
Tidak biasanya pangersa ajengan memintaku untuk ikut mengaji. Pedahal hari ini aku sedang jadwal piket ngarit.
***
Sesampainya di pondok, aku segera mengganti pakaianku. Kini aku kembali bersarung, berkemeja, dan berpeci hitam sebagaimana layaknya pakaian santri pada di pondok ini.
Dengan menenteng tafsir As-Showi, aku langsung menuju aula pengajian. Sambil berjalan bungkuk, aku mengendap-ngendap perlahan masuk ke aula pengajian dari arah pintu samping.
Sesampainya di pondok, aku segera mengganti pakaianku. Kini aku kembali bersarung, berkemeja, dan berpeci hitam sebagaimana layaknya pakaian santri pada di pondok ini.
Dengan menenteng tafsir As-Showi, aku langsung menuju aula pengajian. Sambil berjalan bungkuk, aku mengendap-ngendap perlahan masuk ke aula pengajian dari arah pintu samping.
Kulihat para santri di aula pengajian memperhatikan kedatanganku. Sepertinya mereka heran melihat kedatanganku di tengah pengajian yang sedang berlangsung.
Biasanya, tidak ada santri yang berani datang telat dan memaksakan masuk ketika pengajian sedang berlangsung. Jika memang sudah terlanjur telat, para santri lebih memilih tidak ikut pengajian sekalian ketimbang harus masuk ke aula pengajian. Hal ini karena budaya disiplin dan penanaman rasa malu akibat datang terlambat yang ujungnya bisa mengganggu kegiatan pengajian.
Untuk beberapa saat keringat menetes dari sekujur tubuhku. Wajahku agak merah, aku malu karena datang ke aula pengajian di tengah pengajian sedang berlangsung. Tapi di sisi lain, aku memang diperintah pangersa ajengan untuk ikut pengajian.
Kulihat semua mata sepertinya tertuju padaku, fokus pengajian sejenak menjadi terganggu oleh kedatanganku.
Pangersa ajengan yang sedang memberikan pemaparan terlihat pula berhenti sejenak. Namun beliau nampak memandangku dengan tatapan penuh sambut. Raut wajahnya terlihat berseri.
Aku merasa lebih tenang, meski jadi menyisakan tanda tanya.
Tak lama, aku pun duduk bersila. Berusaha bersikap seperti biasa. Seolah tidak terjadi apa-apa.
Pangersa ajengan pun melanjutkan lagi kajian tafsir As-Showinya. Aku ikut mendengarkan kajiannya sebagaimana biasa.
Setelah beberapa saat, akhirnya kajian tafsir As-Showi di hari itu selesai juga. Selanjutnya masih tersisa satu kajian kitab lagi. Yaitu ngaji kitab Syarah Safinah.
Para santri mulai mempersiapkan kitab masing-masing. Namun kemudian, pangersa ajengan tidak juga memulai pengajian sesi kedua. Beliau hanya terlihat berwirid sambil sesekali menengok ke area dimana santri putri duduk mengaji. Area santri putri memang bersebelahan dengan area tempat duduk santri putra. Keduanya hanya dipisah oleh hijab yang terbuat dari papan tinggi.
Para santri terlihat mulai heran. Tidak biasanya pangersa ajengan melakukan jeda pengajian yang terlalu lama. Dan aku sendiri duduk bersandar pada tembok yang ada di belakangku, agak rebahan menunggu kelanjutan situasinya.
Dan tiba-tiba suara pangersa ajengan akhirnya memecah sunyi. Suara tersebut membuat pandangan semua santri saat itu langsung tertuju pada beliau.
“Barudak.." katanya.
Pangersa ajengan mulai mengeluarkan kata.
"Abah mau memberikan pengumuman pada kalian. Mengenai putri abah, Neng Zulfa," katanya yang memang biasa dipanggil Abah oleh para santri.
Biasanya, tidak ada santri yang berani datang telat dan memaksakan masuk ketika pengajian sedang berlangsung. Jika memang sudah terlanjur telat, para santri lebih memilih tidak ikut pengajian sekalian ketimbang harus masuk ke aula pengajian. Hal ini karena budaya disiplin dan penanaman rasa malu akibat datang terlambat yang ujungnya bisa mengganggu kegiatan pengajian.
Untuk beberapa saat keringat menetes dari sekujur tubuhku. Wajahku agak merah, aku malu karena datang ke aula pengajian di tengah pengajian sedang berlangsung. Tapi di sisi lain, aku memang diperintah pangersa ajengan untuk ikut pengajian.
Kulihat semua mata sepertinya tertuju padaku, fokus pengajian sejenak menjadi terganggu oleh kedatanganku.
Pangersa ajengan yang sedang memberikan pemaparan terlihat pula berhenti sejenak. Namun beliau nampak memandangku dengan tatapan penuh sambut. Raut wajahnya terlihat berseri.
Aku merasa lebih tenang, meski jadi menyisakan tanda tanya.
Tak lama, aku pun duduk bersila. Berusaha bersikap seperti biasa. Seolah tidak terjadi apa-apa.
Pangersa ajengan pun melanjutkan lagi kajian tafsir As-Showinya. Aku ikut mendengarkan kajiannya sebagaimana biasa.
Setelah beberapa saat, akhirnya kajian tafsir As-Showi di hari itu selesai juga. Selanjutnya masih tersisa satu kajian kitab lagi. Yaitu ngaji kitab Syarah Safinah.
Para santri mulai mempersiapkan kitab masing-masing. Namun kemudian, pangersa ajengan tidak juga memulai pengajian sesi kedua. Beliau hanya terlihat berwirid sambil sesekali menengok ke area dimana santri putri duduk mengaji. Area santri putri memang bersebelahan dengan area tempat duduk santri putra. Keduanya hanya dipisah oleh hijab yang terbuat dari papan tinggi.
Para santri terlihat mulai heran. Tidak biasanya pangersa ajengan melakukan jeda pengajian yang terlalu lama. Dan aku sendiri duduk bersandar pada tembok yang ada di belakangku, agak rebahan menunggu kelanjutan situasinya.
Dan tiba-tiba suara pangersa ajengan akhirnya memecah sunyi. Suara tersebut membuat pandangan semua santri saat itu langsung tertuju pada beliau.
“Barudak.." katanya.
Pangersa ajengan mulai mengeluarkan kata.
"Abah mau memberikan pengumuman pada kalian. Mengenai putri abah, Neng Zulfa," katanya yang memang biasa dipanggil Abah oleh para santri.
"Sudah lama Abah ingin menikahkan Neng Zulfa. Namun belum ada yang cocok," katanya.
"Setelah berfikir dan beristikharah, sepertinya ada salah satu dari kalian yang Abah taksir. Dan Neng Zulfa pun merasa cocok."
"Setelah berfikir dan beristikharah, sepertinya ada salah satu dari kalian yang Abah taksir. Dan Neng Zulfa pun merasa cocok."
"Wayahna, ku abah diumumkan sekarang. Dan kalau bisa besok lusa bisa langsung menikah dengan puteri Abah. Ini permintaan Abah."
"Abah mau umumkan sekarang, karena ini mendesak, Abah ingin besok lusa sudah akad. sebelum Abah berangkat ke tanah suci. Abah ingin puteri Abah menikah terlebih dahulu berdasarkan hitungan. Dan kalian pun tentunya harus segera melakukan persiapan hajat untuk pernikahannya besok lusa," seru abah yang kemudian membuat suasana agak serius.
Beberapa santri saling berbisik dan saling melirik. Ada yang saling tebak. Namun ada juga yang nampak tegang dengan muka penasaran sembari menduga-duga santri mana yang beruntung mendapatkan Neng Zulfa.
Selama ini Neng Zulfa menjadi idola para santri. Banyak santri yang menaruh hati pada anak perempuan satu-satunya yang dimiliki pangersa abah.
“Bismillahirrohmanirrahim, kalayan mengharap rahmat dari gusti Allah, Abah menentukan pilihan.. Mangga, Mang Zakaria.. Kapayun!” tegas abah.
Deug! Langit gonjang-ganjing. Dordar geulap hatiku sosorodotan.
Deug! Langit gonjang-ganjing. Dordar geulap hatiku sosorodotan.
Dari ratusan santri yang ada di pesantren ini hanya aku satu-satunya santri yang memiliki nama Zakaria. Nama yang diberikan ayahku sewaktu kecil itu kini keluar dari mulut pangersa ajengan.
Jantungku terasa kukurumuyan mendengarnya. Keringat pedas bercucuran dari sekujur tubuhku.
Jantungku terasa kukurumuyan mendengarnya. Keringat pedas bercucuran dari sekujur tubuhku.
Kini nampak semua orang melihat padaku. Dan aku hanya terpaku dalam posisiku, kaku. Yang kurasa hanya getaran tidak menentu.
Kudengar pangersa ajengan memanggil kembali namaku. Ia nampak melihatku.
Tiba-tiba Kang Jamal bangkit dari tempat duduknya. Putra pertama pangersa ajengan itu menghampiriku dan menepuk pundakku sembari berbisik.
“Calon adik ipar, hayu kapayun..!” Bisik Kang Jamal sembari tersenyum padaku.
Sungguh hal tersebut membuatku merasa bagaikan petir. Entah harus senang ataukah sedih. Aku bingung.
Kang Jamal kemudian menuntunku bangkit. Ia memapahku menuju pangersa ajengan. Dan pangersa ajengan bangkit untuk menyambutku. Rona senyum tersurat di bibirnya. Ia kemudian merangkulku.
Aku berdiri di depan semua santri di samping pangersa ajengan.
Dari tempat itu, aku bisa melihat semua santri. Baik santri putra, maupun santri puteri. Aku bisa melihat hamparan santri putri yang biasanya tidak bisa aku lihat karena batasan hijab. Dari sana aku bisa melihat Neng Zulfa. Ia sedang duduk di posisi paling depan. Senyumnya tergurat padaku. Meski terlihat agak sipu.
Sejenak lamunanku melayang.
Oh Zulfa..
Soca anjeun mencrang jiga peutey selong..
Pangamung anjeun mancung jiga gantar..
Lamey anjen beureum jiga sambel tarasi..
Kulit anjeun bodas..
Lamun saguling aya laukan ku akang dibedahkeun ayeuna keneh..
Lamun tangkuban parahu ngajentul ku akang di tangkarakeun ayeuna keneh..
Asal Zulfa miharep akang sangem merjuangken..
Demi cinta akang ka Zulfa..
Alfiyah jadi saksi mahar akang ka anjeun..
Al-Qur’an sumawona di perjuangkeun..
Lamun engke tos rumah tangga..
Sarebu anak langkung sae..
asal Zulfa miharep akang sangem ngadamelan..
Mengapa pangersa ajengang memilihku? Mengapa pula Neng Zulfa memilihku?
Aku hanya anak yatim yang tidak punya apa-apa.
Pangersa guru memegang tanganku. Dan tangan yang satunya, melambai memanggil Neng Zulfa untuk ikut ke depan.
Untuk kelanjutan ceritanya, follow:
Kudengar pangersa ajengan memanggil kembali namaku. Ia nampak melihatku.
Tiba-tiba Kang Jamal bangkit dari tempat duduknya. Putra pertama pangersa ajengan itu menghampiriku dan menepuk pundakku sembari berbisik.
“Calon adik ipar, hayu kapayun..!” Bisik Kang Jamal sembari tersenyum padaku.
Sungguh hal tersebut membuatku merasa bagaikan petir. Entah harus senang ataukah sedih. Aku bingung.
Kang Jamal kemudian menuntunku bangkit. Ia memapahku menuju pangersa ajengan. Dan pangersa ajengan bangkit untuk menyambutku. Rona senyum tersurat di bibirnya. Ia kemudian merangkulku.
Aku berdiri di depan semua santri di samping pangersa ajengan.
Dari tempat itu, aku bisa melihat semua santri. Baik santri putra, maupun santri puteri. Aku bisa melihat hamparan santri putri yang biasanya tidak bisa aku lihat karena batasan hijab. Dari sana aku bisa melihat Neng Zulfa. Ia sedang duduk di posisi paling depan. Senyumnya tergurat padaku. Meski terlihat agak sipu.
Sejenak lamunanku melayang.
Oh Zulfa..
Soca anjeun mencrang jiga peutey selong..
Pangamung anjeun mancung jiga gantar..
Lamey anjen beureum jiga sambel tarasi..
Kulit anjeun bodas..
Lamun saguling aya laukan ku akang dibedahkeun ayeuna keneh..
Lamun tangkuban parahu ngajentul ku akang di tangkarakeun ayeuna keneh..
Asal Zulfa miharep akang sangem merjuangken..
Demi cinta akang ka Zulfa..
Alfiyah jadi saksi mahar akang ka anjeun..
Al-Qur’an sumawona di perjuangkeun..
Lamun engke tos rumah tangga..
Sarebu anak langkung sae..
asal Zulfa miharep akang sangem ngadamelan..
Mengapa pangersa ajengang memilihku? Mengapa pula Neng Zulfa memilihku?
Aku hanyalah jalmi ipis. Orang tidak punya. Wajahku tak seganteng Haji Agus putra Ajengan Ciparay. Aku pun bukan miliyarder layaknya Kang Feri pengusaha emas terkaya di kota Cimahi. Bahkan tidak pula sepintar Gus Romi yang jago ngaji.
Aku hanya anak yatim yang tidak punya apa-apa.
Pangersa guru memegang tanganku. Dan tangan yang satunya, melambai memanggil Neng Zulfa untuk ikut ke depan.
Untuk kelanjutan ceritanya, follow:
Instagram: @rifkiyal (Ang Rifkiyal)