Cerita: Monster Jembatan Ciminyak Cililin
Namaku Jaelani. Bulu hidungku gondrong, tapi sering aku cukur agar tidak terlihat gondrongnya.
Dan saat ini aku sedang mengendarai motor menuju Jembatan Ciminyak.
Aku sudah janji dengan Nabila untuk bertemu di rumah makan yang ada sekitaran Jembatan Ciminyak, Cililin, Bandung Barat.
Nabila adalah adalah pacarku. Ia adalah wanita paling cantik se-kabupaten. Kita baru jadian seminggu yang lalu. Tapi aku belum pernah sekali pun bertemu dengannya.
Selama ini aku dan Nabila hanya berkomunikasi di media sosial. Awalnya, kita berkenalan di facebook.
“Woy!” kataku, “Buruan bangsat!” kataku dengan kasar pada seorang pengendara motor yang ada di depanku. Ia menghalangi jalanku, ngagokan.
Orang itu pun menoleh padaku. Ia menatapku. Dan aku balas menatapnya seperti seorang bajingan yang ingin berkelahi.
Untungnya orang itu tidak menghiraukanku. Ia tidak mempermasalahkan tingkahku yang kurang ajar.
Lagi pula, aku tidak benar-benar berani untuk berkelahi dengannya. Agak ngeri.
Jalanan memang sedang macet, ada buka tutup jalan karena sedang ada perbaikan. Tapi aku sangat tidak sabar untuk bertemu Nabila.
Karena kemacetan yang terasa panjang. Akhirnya aku putuskan untuk jalan kaki. Aku memilih menitipkan motor yang ku kendarai di sebuah warung di pinggir jalan.
Jembatan Ciminyak sudah dekat.
Aku berjalan, meski agak lari. Aku berusaha segera sampai dengan tetap menjaga kondisi agar badan tetap wangi. Aku tidak ingin Nabila nanti melihatku dengan keadaan kusam dan bau badan.
Namun setelah beberapa saat berjalan, tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara dentuman keras dari arah langit. Terdengar menggelegar seperti ledakan kentut yang volumenya dilipat gandakan.
Warna langit pun tiba-tiba berubah, suasana mendadak suram dan gelap. Semua menjadi terasa mengerikan. Ada apa ini?
Ku perhatikan, muncul sebuah lubang hitam di langit. Nampak menjorok ke dalam. Terlihat petir saling menyambar di dalamnya.
Aku bingung. Dan semua orang pun bingung dengan apa yang terjadi.
Dalam situasi tersebut, aku teringat kembali pada Nabila. Aku harus tetap menemuinya. Aku harus segera menemuinya.
Tak lama kemudian, akhirnya aku sampai di jembatan Ciminyak setelah memutuskan untuk berlari cepat.
Suasana sudah kacau. Orang-orang nampak panik dengan fenomena langit yang menjadi hitam dan mengerikan
Aku kebingungan mencari Nabila.
“Halo! Nabila? Di mana?” kataku lewat sambungan telepon.
“Aku di sini. Di dekat angkot kuning yang ada di ujung jembatan,” katanya.
“Tunggu! Jangan kemana-mana!" kataku, "Aku segera kesana," lanjutku.
Lantas aku berjalan berkeliling. Mataku memantau setiap sudut di tempat itu. Aku fokus pada orang-orang yang ada di dekat jembatan. Kemudian aku melihat angkot kuning sebagaimana yang Nabila katakan.
Dan, jleb! Mataku beradu pandang dengan sosok gadis cantik. Matanya bersinar. Senyumnya landai.
Ya, itu adalah Nabila. Sosok perempuan yang sebelumnya hanya bisa aku lihat di facebook dan instagram-nya. Dan kini sosok itu ada di hadapanku. Melihatnya langsung, membuatku ingin menikahinya.
“Nabila ya?” kataku menyapa.
Jantungku berdebar sedikit tidak karuan. Aku grogi.
“Iya,” jawabnya. “Ini Aa Jaelani ya?” tanyanya.
“Iya,” jawabku.
Lantas kita saling mengeluarkan senyum setelah saling mengkonfirmasi.
Aku dan Nabila nampak canggung. Terasa asing. Pedahal saat berkomunikasi di media sosial rasanya kita sudah sangat dekat tanpa sekat. Bahkan kedekatan kita sudah tidak bisa diukur dengan penggaris.
“Bila!” seruku.
“Apa?” katanya lembut.
“Maaf ya! Tadi Aa telat datangnya,” kataku.
“Iya, kenapa kok bisa telat datangnya?” tanyanya
“Mungkin Aa hamil,” jawabku.
“Ih?” Nabila bingung. Mungkin ia tidak mengerti candaanku.
Lantas kita melanjutkan obrolan dengan tema yang lain. Ya, obrolan ringan, membahas beberapa obrolan yang sebenarnya sering kita ulas di media sosial.
Maklum, ini adalah pertemuan pertama di dunia nyata. Aku merasa perlu untuk melakukan penjajakan ulang.
***
Di tengah perbincangan, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah langit. Aku mendengar raungan suara yang sangat keras seperti erangan binatang buas.
Aku dan Nabila tersadar. Kita siuman dari situasi kasmaran yang sedang menjerat kita. Sepertinya kita sedang dalam bahaya.
Nabila tiba-tiba memeluk lenganku. Ia nampak ketakutan. Aku berusaha menenangkannya. Terbesit di benakku bahwa ternyata enak juga dipeluk wanita.
Dari lubang hitam yang ada di langit, tiba-tiba kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, ada sesosok monster yang keluar dengan diselimuti api membara.
"Edas, aslina ieu teh?" Aku kaget.
Kejadian ini seperti sebuah adegan yang biasa aku lihat di film-film Ultraman.
Monster itu meluncur begitu cepat dari langit, langsung menghujam ke aliran sungai Ciminyak. Sejajar dengan posisi dimana aku dan Nabila berdiri di pinggir jembatan Ciminyak.
Aku takut. Sungguh.
Sosok monster itu sangat menyeramkan. Matanya merah, kepalanya bedegul, dan kulitnya bersisik seperti ikan gurame. Hidungnya bolongnya dua.
Seketika semua orang panik. Semua menjerit dan lari berhamburan.
Banyak kendaraan yang terjebak macet lantas ditinggal oleh pemiliknya. Banyak anak kecil terlantar, banyak istri yang diselingkuhi suami. Mereka semua berhamburan dan berlarian.
Suasana menjadi sangat kacau.
Di tengah kepanikan tersebut Nabila malah tersenggol oleh seseorang hingga jatuh ke aliran sungai yang ada di bawah jembatan.
Aku panik melihat Nabila yang tersenggol jatuh. Ia tenggelam di aliran sungai. Aku tidak ingin Nabila mati. Bagaimana pun kelak Nabila akan menjadi ibu dari anak-anakku.
Seketika aku reflek terjun ke aliran sungai untuk menyelamatkan Nabila.
Air sungai ciminyak ternyata sangat deras. Apalagi di musim hujan seperti saat ini.
Untungnya aku masih bisa berenang dan mampu mengendalikan tubuh sehingga dapat langsung menangkap Nabila.
Nabila yang sudah terengah-engah kutarik, kubawa ia ke darat. Ia pingsan walau pun masih tetap terlihat cantik.
Aku putuskan untuk menekan-nekan bagian dada Nabila dan mencium bibirnya, maksudnya, aku memberinya nafas buatan agar ia segera sadar dan kembali menjadi seorang perempuan.
Tak berapa lama, Nabila langsung sadar walau sambil batuk-batuk dengan mata yang agak layu.
“Kamu baik-baik saja?” tanyaku.
Ia menganggukan kepala. Tanda bahwa ia dalam keadaan baik.
“Bila, maaf. Barusan aku memberimu nafas buatan. Kondisinya darurat,” terangku.
Muka Nabila memerah mendengar ucapanku. Mungkin ia sudah kembali menjadi perempuan.
***
Raungan suara monster terdengar menggema, tingkahnya yang brutal mencerminkan sosok monster yang liar. Sesekali monster itu merusak rumah-rumah yang ada di sekitaran sungai. Ia berjalan menyusuri sungai menuju ke arah di mana kami berada.
Aku dan Nabila tidak bisa beranjak pergi. Kaki Nabila terkilir. Dan kita sudah terlalu lemah untuk menyelamatkan diri akibat terjatuh dan tenggelam. Sementara semua orang sudah pada berhamburan. Mereka pergi menyelamatkan diri masing-masing.
Nabila menangis. Ia ketakutan. Air matanya terlihat bening dan indah sekali.
Dalam kondisi menangis, Nabila masih memancarkan aura perempuan yang paling cantik se-kabupaten. Di titik ini aku merasa terpesona dengan kecantikan dan kelembutannya.
Tapi aku kembali sadar, bahwa saat ini bukan waktuku untuk kasmaran dan menikmati pesona Nabila.
Aku tidak boleh membiarkan ia menangis, apalagi sampai celaka. Bagaimana pun aku harus melindungi Nabila.
Tapi..
Tapi bagaimana cara aku melindunginya? Aku bingung. Monster itu terlihat buas dan menyeramkan. Ukurannya pun sangat besar seukuran Gunung Aseupan.
Akhirnya, aku hanya bisa memohon keselamatan kepada Allah. Memohon perlindungan serta jalan keluar atas masalah yang sedang aku hadapi ini.
Tidak berselang lama, tiba-tiba ada sebuah tas jatuh dari atas jembatan. Tas itu jatuh tepat di hadapanku akibat getaran yang timbul dari langkah kaki si monster.
Dari dalam tas itu, terlihat banyak wajit khas Cililin yang berceceran. Satu di antaranya menggelinding ke arahku.
Entah kenapa, aku langsung tergerak untuk mengambilnya. Apalagi setelah melihat bungkus kemasannya yang bertuliskan "wajit asli Cililin". Jiwa kedaerahanku meronta-ronta.
Kuambil satu, kubuka bungkus wajit yang terbuat dari daun jagung kering tersebut. Benar saja, itu adalah wajit khas yang jarang ada di daerah lain. Wajit legenda yang menjadi jajanan oleh-oleh khas Cililin.
Kurasakan tekstur luarnya yang sedikit kering namun di dalamnya terasa lembek dan lembut. Kemudian aku langsung menyantapnya dan menikmati rasa manisnya.
Srrreeeggghhh! jleb jleb jleb...
Sejurus kemudian aku merasakan hal aneh. Entah kenapa sesaat setelah memakan wajit itu mataku silau, kepalaku terasa dingin, tubuhku terasa melayang. Aku seperti terhempas.
Ada apa ini? Apa yang terjadi padaku?
Pandanganku menjadi putih. Telingaku hanya bisa mendengar suara melengking bising. Tubuhku seperti sedang melayang dan meluncur ke suatu alam yang berbeda.
Aku seperti dikeluarkan dari muka bumi.
Dan.. Eh??
Secara perlahan mataku mulai bisa melihat kembali. Pendengaranku pun mulai terasa normal kembali.
Anehnya tiba-tiba saja aku berada di padang pasir. Seperti berada di dataran Gurun Gobi Afrika. Sepanjang mata memandang yang kulihat hanyalah pasir-pasir gersang di tengah sengatan matahari.
Nabila? Dimana Nabila?
Mengapa aku ada disini? Di tempat yang asing ini?
"Jang, lagi apa?" kata seseorang yang tiba-tiba terdengar suaranya dari arah belakang.
Aku kaget. Aneh. Kok ada orang yg memanggilku di tempat seperti ini?
Segera ku balikan badan untuk melihatnya. Ternyata ada seorang kakek-kakek tua memakai dudukui sambil membawa tolombong dan arit.
"Siapa kamu?" kataku dengan nada keras.
"Hahaha. Aku adalah orang yang tersesat di sini," katanya.
"Koplok siah!" kataku. "Moal salah deui sia nu mawa aing kadieu!" lanjutku.
"Hahaha. Kamu sedang emosi anak muda. Tenanglah!" katanya.
Sejenak aku menatapnya. Aku memandang wajahnya dengan lebih tenang. Kuperhatikan secara seksama ia tidak seperti orang jahat.
"Ini di mana?" tanyaku yang mulai menurunkan emosi.
"Ini di alam eureup-eureup. Sebuah alam yang penuh misteri."
"Maksudnya?"
"Ya, ini misteri, Jang. Aku pun terkadang tidak mengerti. Sudah lama aku ingin keluar dari sini. Namun tidak pernah bisa."
"Maksud kamu, kita akan terjebak di sini selamanya?" tanyaku bingung.
"Mungkin."
Mendengar ucapannya, aku langsung lemas. Hidup memang asik. Namun hidup dalam dunia yang sepi seperti ini apa bedanya dengan mati?
Tapi ada apa ini? Aku masih bingung dengan semua yang terjadi.
"Ayo ikut denganku!" kata kakek itu.
"Kemana?" kataku.
"Ke tempat berlindung. Sebentar lagi akan ada badai."
"Hah?"
Lantas aku mengikuti kakek itu. Berjalan menyusuri padang pasir yang gurun. Gurun pasir yang luas seperti tiada berujung.
Lima jam lamanya berjalan, aku dan kakek tua itu sampai di sebuah bongkahan batu besar. Dimana di tengahnya terdapat sebuah lubang membentuk gua.
Kakek tua itu menjelaskan padaku, bahwa lubang pada batu besar ia buat sendiri dalam kurun waktu satu tahun. Ia membuatnya khusus untuk berlindung bila akan terjadi badai.
Aku bertanya, "Gimana cara kamu melubanginya? Ini kan keras?".
Ia jawab, "Hahaha, saat pertama kesini, aku fokus mematangkan ilmu tenaga dalam yang telah aku gali selama menjadi pendekar Gunung Halu."
Kemudian ia menunjukan caranya padaku. Dan, Jebrett! Batunya langsung bolong.
"Edas!" kataku kagum. "Iya gitu? Kamu Pendekar Gunung Halu?" tanyaku penuh heran.
"Hahaha, itu dulu," jawabnya.
Aku langsung menyungkur. Memberikan rasa hormat padanya. Betapa tidak, jika benar ia adalah pendekar Gunung Halu, itu akan sangat luar biasa.
Pendekar Gunung Halu adalah pahlawan legenda dari Gunung Halu. Ia adalah pembela kebenaran dan penumpas kejahatan yang banyak diceritakan secara turun-temurun. Ia terkenal dengan pencak silat dan kesaktiannya yang luar biasa.
“Hahaha, kenapa kau berlutut seperti itu anak muda?”
“Pangersa Mama Pendekar Gunung Halu, hapunten pisan tadi saya bersikap kurang ajar,”
“Hohoho. Aing tea,” katanya.
Kemudian kita ngobrol-ngobrol. Atau curhat tentang berbagai hal di dalam batu yang bolong itu. Tentunya sambil berlindung dari badai pasir yang ricuh. Aku mendapat informasi darinya, bahwa satu tahun di alam eureup-eureup sama dengan satu detik di dunia nyata. Itu artinya aku masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan Nabila dari monster jahat di alam bumi.
Aku menceritakan kejadian yang aku alami di dunia nyata pada sang mama Pendekar Gunung Halu. Ia manggut-manggut mendengar ceritaku. Aku lantas memohon-mohon agar bisa kembali ke dunia nyata. Namun ia bilang hal itu tidak bisa. Kecuali aku mampu mengalahkan siluman huntu rangoas yang masih menguasai alam eureup-eureup. Selain itu aku harus mampu merebut wajit cililin yang saat ini berada dalam penguasaan siluman huntu rangoas agar mampu kembali ke dunia nyata.
Menurutnya, wajit cililin adalah kunci satu-satunya untuk bisa keluar dari alam eureup-eureup.
“Apakah mama pernah mencoba?” tanyaku.
“Iya, namun aku selalu gagal. Siluman itu terlalu kuat.”
Aku langsung lemas mendengar ucapannya. Serasa langit, awan, dan hujan runtuh mendadak lantas menimpa ubun-ubunku. Aku putus asa. Mungkin memang sudah takdirku untuk tinggal di alam ereup-ereup selamanya. Menyedihkan.
“Tapi...” kata Mama pendekar Gunung Halu dengan nada ragu.
“Tapi apa?” tanyaku penasaran.
“Ada satu cara agar bisa mengalahkan siluman huntu rangoas.”
“Apa?” tanyaku penuh nafsu sembari memegang kedua tangannya.
“Ada satu jurus yang aku punya. Jurus ‘tukang ngarit mabuk’. Jurus ini kurasa mampu mengalahkannya. Sayangnya aku sudah terlalu tua untuk mengeluarkan jurus itu. Jika aku keluarkan, aku bisa mati dan malah sia-sia,” ujarnya dengan ekspresi kecewa.
Ahhhh.. Aku kecewa lagi. Harapan yang kukira baru muncul sedikit sudah langsung ditebas lagi. Mungkin memang ini takdirnya, aku harus menangis. Pedahal aku belum sempat menikah selama masih hidup di dunia.
“Hahahaha,” kakek tua itu tertawa tiba-tiba. Membuatku kaget sekaligus heran.
“Kurasa ilmuku lebih baik aku wariskan padamu anak muda!” katanya lagi dengan nada optimis.
Setelah itu, aku diberi sebuah tolombong dan arit olehnya. Aku diajari berbagai jurus dan ilmu. Hari demi hari aku lalui untuk berlatih agar bisa menguasai berbagai jurus. Hingga satu tahun kemudian akhirnya aku berhasil mengusai jurus tukang ngarit mabuk.
Setelahnya, aku pun mampu menguasai semua jurus yang diajarkan oleh Mama Pendekar Gunung Halu, kemudian aku langsung diantar untuk menemui siluman huntu rangoas. Menempuh perjalanan yang jauh. Mungkin sekitar tiga bulan kami menyusuri padang pasir yang luas untuk akhirnya sampai di tempat palinggihan siluman huntu rangoas yang berada di suatu lembah penuh dengan pohon kaktus.
“Mau apa kalian kemari? Bhuaahahahahaha,” kata siluman huntu rangoas menyambut kedatangan kami.
Aku kaget dengan semua yang aku alami ini. Aku begitu ngarumas. Saat ini, di hadapanku ada sesosok raksasa besar dengan muka menyeramkan. Lebih dari itu, ia memiliki gigi yang gondrong. Usut punya usut, giginya itu beracun. Ia sering menjadikan giginya sebagai senjata andalan.
“Aku ingin melawanmu, hai siluman huntu rangoas!” ujarku pura-pura berani.
“Bhuahahahahahha.. Coba saja kalau berani!”
Lantas aku menghampirinya dan menebas gigi gondrongnya menggunakan arit yang aku bawa. Tebasanku membuat siluman huntu rangoas itu mati seketika.
"Adih! Kok gitu? Apa-apaan ini? Masa langsung kalah? Tidak sesulit yang diceritakan. Tidak seru. Tidak seheroik penuturan awal," kataku mengerutu pada Kakek Pendekar Gunung Halu.
Kakek pendekar Gunung Halu hanya cengengesan.
Aku lantas mengambil wajit dari genggaman siluman huntu rangoas menggunakan tolombong. Kemudian aku serahkan kepada mama Pendekar Gunung Halu. Kita langsung botram di tempat. Menikmati wajit Cililin yang terkenal manis dan legit.
Dan, jleb! Aku langsung berada di bawah jembatan Ciminyak kembali. Kulihat Nabila sedang memeluk tanganku. Ia sedang ketakutan.
Nampak monster dengan wajah buas menuju ke arah dimana aku dan Nabila berada. Suaranya meraung-raung keras.
Monster itu bahkan mulai berlari ke arah kami. Ia nampak tidak sabar untuk menyantap kami.
Namun ketika baru berlari beberapa langkah, monster itu tiseureuleu di tengah aliran sungai jembatan Ciminyak. Tisoledat.
Hahahaha, aku dan Nabila tertawa melihat kejadian itu. Sungguh gokil sekali, tidak bisa dibayangkan, monster dengan wajah beregud dan mengerikan tiba-tiba tikosewad dan tikusruk di aliran sungai.
Aku dan Nabila yang tadinya horor jadi tertawa terbahak-bahak.
“Tunggu disini Nabila! Aku akan menghadapinya,” kataku pada Nabila dengan tatapan meyakinkan.
“Aa..” kata Nabila dengan suara lembut. Ia menatapku dengan penuh rasa khawatir.
“Jangan khawatir! Kamu harus percaya, semua akan baik-baik saja. Ini demi kamu. Pun jika aa meninggal, setidaknya aa meninggal dengan keadaan terhormat. Aa telah memperjuangkan keselamatanmu duhai cinta, oh..” kataku pada Nabila biar terkesan hebat dan bertanggung jawab.
“Aa! Hiks.. Hiks..” Kata Nabila sambil memelukku. Ia menangis di pangkuanku seakan tidak kuasa melepas kepergianku. Eum.
Aku kemudian naik ke atas jembatan. Dengan penuh rasa percaya diri, aku berdiri menghadap ke arah monster itu.
Terbersit dalam hati, bahwa aku mungkin akan mati menghadapi monster yang ukurannya sebesar gunung aseupan. Bagaimana pun, aku adalah manusia biasa. Manusia yang hanya memiliki tinggi 165 cm. Manusia yang tadi pagi hanya sarapan nasi dua piring.
Sungguh, aku tidak punya daya, aku tidak punya upaya, aku bukan siapa-siapa. Jangankan melumpuhkan monster, melumpuhkan hati perempuan saja aku sering gagal. Kecuali Nabila. Melumpuhkan Nabila adalah kebetulan. Atau mungkin ijabah doa karena aku sering menyebut namanya di sepertiga malam.
Semua orang mesti tahu, bahwa Nabila adalah gadis yang sangat cantik. Mungkin paling cantik se-kabupaten.
Nabila punya gigi gingsul. Jika senyum, ada manis-manisnya.
Lelaki mana yang mampu bertahan dengan senyuman perempuan yang memiliki gigi gingsul?
Kutengok Nabila, ia nampak khawatir melihatku. Ia nampak gelisah melihatku yang akan bertarung dengan monster itu.
Aku tidak boleh mengecewakan Nabila. Aku harus melawan monster itu.
"Arggghhhhhhhh...."
Aku berteriak. Bukan untuk menakut-nakuti sang monster. Tapi untuk mengeluarkan sebuah jurus yang sempat aku pelajari ketika terjebak di alam ereup-ereup. Nama jurus tersebut adalah jurus padalarang. Jurus yang hampir semua orang pada melarang. Jurus ini adalah jurus yang dikembangkan dari jurus tukang ngarit mabuk.
Aku merasakan kekuatan yang muncul dalam diriku. Tubuhku seperti dipenuhi oleh sengatan listrik.
Aku lantas melayang, meluncur, dan menyerang monster itu dengan sekuat tenaga.
Tanpa basa-basi aku pukul-pukul tubuhnya sekeras mungkin. Aku tampar wajahnya dengan tangan-tangan jebrag.
Beberapa hizib aku bacakan untuk melumpuhkan monster itu.
Dari mulutku, muncul api. Aku bisa menyemburkan api dengan kecepatan tinggi dan semburan yang besar. Seperti api yang dihembuskan oleh tukang las karbit.
Serangan yang aku lancarkan begitu brutal.
Hingga akhinya, serangan yang aku keluarkan bertubi-tubi menghasilkan ledakan mirip bom atom Hiroshima yang pernah aku lihat di film dokumenter sejarah kemerdekaan.
"Selesai," kataku ketika berhasil membuat ledakan maha dahsyat tersebut.
Aku memandang Nabila dengan penuh rasa percaya diri. Aku berhasil menunjukkan padanya bahwa aku adalah orang yang kuat.
Aku yakin, aku pasti nampak keren di hadapan Nabila.
"Itu," kata Nabila.
"Apa?" tanyaku.
"Di belakang.." kata Nabila lagi.
"Eit dah", aku kaget.
Monster itu masih ada di belakangku dan belum mati. Ia melongo padaku. Ia menatapku aneh. Monster itu tidak terluka sama sekali, bahkan seolah tidak terjadi apa-apa.
Aku muringis. Sungguh, aku gemetar melihatnya. Aku takut. Monster itu sangat mengerikan.
Aku berteriak, "Arrggghhhhhhhhhhhhh..."
Aku terbangun. Mataku kubuka perlahan, tubuhku terasa panas, aku keringatan.
Kulihat jam dinding di kamarku menunjukan pukul 1 siang.
Dan, ya, saat ini aku sedang di kamar tidur.
Sungguh, baru saja aku bermimpi yang aneh. Mimpi bertemu dengan Nabila di jembatan Ciminyak, tersesat di gurun, hingga harus bertarung melawan monster yang hidungnya ronghod. Benar-benar mimpi yang aneh.
Segera kuambil hape yang ada di meja. Kubuka facebook dan Instagram Nabila lagi. Dan kulihat profilnya lagi. Ia masih sama, masih cantik. Sampai-sampai terbawa mimpi.
Andai saja aku bisa berkenalan dan jadian dengan Nabila.
**
Siang itu, selepas terbangun dari tidur, aku jadi banyak merenung. Mengapa aku bermimpi aneh seperti itu. Tentang wajit dan kekuatan. Tentang Nabila dan monster. Pun tentang Pendekar Gunung Halu.
Akhirnya, selepas shalat dzuhur, aku langsung memutuskan untuk bergegas berangkat ke Sindangkerta. Menuju daerah Gandok.
Memang, sudah tiga minggu ini aku rutin datang ke Gandok. Setiap hari aku dan teman-temanku selalu nongkrong di jalanan Gandok, antara Rancapanggung dan Sindangkerta. Jika ditanya untuk apa? Jawabannya sederhana. Hanya untuk mengatur lalu lintas jalan.
Kebetulan, di sepanjang jalan Rancapanggung dan Sindangkerta sedang dilakukan pengecoran. Aku memanfaatkan situasi itu untuk ikut nimbrung melakukan buka tutup jalan sambil ngencleng untuk mendapatkan receh.
Aku adalah anggota ormas.
"Beng, kenapa telat?" tanya Jajang kepadaku ketika aku baru saja tiba.
Namaku adalah Jaelani. Tapi anehnya, teman-teman dekatku selalu memanggilku dengan sebutan Obeng. Asal muasalnya tidak akan aku ceritakan sekarang.
"Ketiduran." jawabku singkat.
Aku langsung bergabung dengan mereka.
Beberapa waktu kemudian, saat aku sedang ngencleng memungut sumbangan dari para pengendara motor yang sedang mengantri, tiba-tiba aku terkejut melihat seorang perempuan yang sedang dibonceng pengendara motor.
Sosok perempuan bergigi gingsul, rambutnya terurai, dan matanya berjumlah dua.
Tidak salah. Itu adalah Nabila. Ya, benar ia. Perempuan yang selama ini hanya bisa aku lihat sosoknya di media sosial. Perempuan yang tadi siang hadir dalam mimpiku.
"Nabila, ya?" tanyaku refleks sembari menghampirinya segera. Aku tidak sadar, kenapa aku tiba-tiba menghampiri dan menanyakan namanya.
Nabila terperangah ketika aku menghampirinya. Dahinya mengkerut, menebak-nebak, siapa aku.
"Eh? Kamu siapa ya?" tanya orang yang sedang membonceng Nabila.
Saat itu Nabila memang sedang dibonceng oleh seorang lelaki dengan menggunakan helm berwarna putih. Lelaki yang yang menggunakan motor sport Kawasaki Ninja empat silinder.
Aku tersenyum, aku merasa malu sendiri. Bisa-bisanya aku menghampiri Nabila dan menyapanya.
Aku langsung minta maaf. Dan berlalu menjauh untuk melanjutkan mengambil receh dari para pengendara yang lain.
Tapi Nabila masih melihatku. Ia mungkin bertanya, siapa aku yang bisa tahu namanya.
Jika Nabila teliti, ia seharusnya tahu siapa aku.
Di Instagram, aku sering sekali mengomentari postingan dan foto-foto Nabila. Bahkan aku sering mengiriminya pesan di Instagram, pesan yang hanya dibaca saja itu, tanpa pernah direspon, atau pun dihiraukan.
Jika Nabila teliti dengan akun Instagram ku, ia pasti akan ingat sosok yang sering mengirim pesan itu adalah aku. Ya, aku. Orang yang di Instagram sering berfoto dengan celana sobek-sobek. Tidak berbeda seperti celana yang saat ini sedang kupakai.
Ah, aku menjadi melankolis. Jiwa premanku meleleh jika berbicara wanita. Sesangar apa pun preman, jika dihadapkan pada cinta, tetap saja melankolis.
Lagi pula, siapa aku? Hanya penggemar Nabila di Instagram. Dan kurasa, memang hanya di Instagram. Tidak mungkin sampai bisa mengenal Nabila di dunia nyata.
Jika dibanding peliharaan Nabila yang tadi mengendarai ninja, sepertinya aku bukan apa-apa. Ninja memang sering kali menjadi momok menakutkan bagi pemuda miskin sepertiku. Menikung.
**
Aku pamitan pada yang lain. Aku merasa butuh ketenangan terlebih dahulu
"Kemana, Beng?" tanya Jajang.
"I'tikaf, ke mesjid.." kataku.
"Oh" balasnya.
Aku lantas pergi. Sebenarnya tidak ke masjid. Aku berangkat ke Ciminyak. Entahlah, aku merasa ingin ke Ciminyak. Mungkin gara-gara tadi aku bermimpi datang ke tempat ini.
Kebetulan aku juga lapar. Aku ingin makan.
**
Pukul lima sore, selepas shalat ashar, notifikasi instagramku berbunyi. Aku buka. Ada pesan yang masuk.
"Tadi yang di jalan itu kamu?" tertulis dalam pesan masuk.
Pesan itu dari Nabila.
Betapa jantungku berdebar agak kencang. Tidak biasanya Nabila meresponku. Ini pertama kalinya Nabila berinteraksi denganku. Ia membalas pesanku setelah sekian lama tidak pernah sekali pun menghiraukanku.
Aku balas:
" :) " (emoticon senyum)
"Kok, malah emot senyum?" tanyanya.
"Iya. Yang tadi di jalan itu aku," balasku.
"Maaf ya. Tadi aku kaget. Jadi bingung pas kamu nanya," balasnya.
"Tak apa. Maaf tadi aku lancang," tulisku.
"Lancang kenapa? Biasa aja kali a.." katanya.
Anyir! Nyebut "Aa". Sugan teh bakal nyebut "Mang".
" :) " (emoticon senyum)
"Lagi apa?" tanyanya kemudian.
"Lagi makan, di Ciminyak.. Hehe," balasku.
"Oh, udah beres ngenclengnya?" tanyanya.
"Belum. Aku pergi duluan. Nyari makan. Yang lain masih ngencleng."
"Ini nomor whatsappku, 003821193033 " balasnya.
" Lho? Kok tiba-tiba ngasih nomor?" tanyaku.
"Bukannya dulu kamu sering minta nomor WA ku? Maaf, baru sekarang aku kasih.." katanya.
**
Percakapanku saat itu terhenti. Hapeku mendadak mati. Baterenya habis.
**
Aku menjadi kepikiran. Entah ada angin apa, kenapa Nabila yang dulu tidak pernah membalas pesanku sama sekali tapi sekarang tiba-tiba muncul menghubungiku.
Aku seperti mendapat angin segar. Serasa dibukakan pintu, meski sedikit, untuk sekedar silaturahmiku dengannya. Tapi, ya, hanya silaturahmi.
Setelah melihat Nabila tadi, aku tidak lagi memiliki asa untuk berimajinasi menjadi pasangan Nabila. Kini aku sadar diri. Siapa aku? Siapa Nabila? Kita bagai bumi dan langit. Lagi pula, nampaknya Nabila sudah punya peliharaan. Semacam monyet, atau apalah.
Aku tidak ingin terjatuh dalam pengaharapan cinta yang kosong. Aku tidak ingin pengalamanku dulu terulang.
Dulu, waktu masih sekolah di SMA yang ada di Batujajar, aku penah punya pacar. Namanya Ismi. Ia mencampakanku. Dan itu sakit. Aku terus berharap kembali padanya, mengejarnya, mencintainya, tapi ia malah terus pergi, menghindar, dan akhirnya menjalin kasih dengan orang yang lebih mapan dariku. Bagiku itu sakit.
Mungkin ini lebay. Tapi setiap orang punya kisah asmaranya masing-masing. Dan kisah asmarku, ya, begitulah.
___
*Bersambung.. Mohon berkenan menulis ulasan dan tanggapan di kolom komentar..
Penulis: Ang Rifkiyal
Posting Komentar